Oleh : Hasbunallah Haris
(Bagian lima)
Link bagian empat : https://www.topsumbar.co.id/cerita-bersambung-wisata-masa-lalu-4/
Tangan Tuhan akan merengkuh jiwa-jiwa yang bersandar, jiwa-jiwa yang rapuh.
Ketika matahari hampir tergelincir, barulah introgasi itu dianggap selesai, dan Syamil pun dapat bernapas lega. Ruben dan Bibi Lie berpandangan sejenak, sorot mata keduanya menunjukkan harapan yang sangat tinggi. Sejujurnya mereka ingin bertanya lebih jauh, bukan tentang analisis hebat yang dikemukanan Syamil, tapi mengenai dirinya. Dua orang itu memandang keunikan yang sangat langka yang ada pada diri Syamil, mungkin nanti mereka akan bertanya kembali.
“Baiklah, waktunya makan siang.” Bibi Lie mengeluarkan bekalnya, sebuah kompor kecil dan beberapa alat pemanggang. Mereka akan memasaknya sendiri. Untuk bahan-bahannya sudah dipersiapkan oleh Ruben; tiga ekor udang yang sangat besar, tiga ekor ikan tuna dan nasi panas, juga ada sayur lodeh yang sudah matang. Mereka hanya tinggal menggoreng udangnya saja dan memanggang ikan.
“Nah, Syamil, kami menjanjikan naskahnya nanti malam padamu. Oh Tuhan, kau tentu akan menginap, bukan?”
Syamil berpikir sejenak, lantas mengangguk. “Apakah boleh?”
“Mengapa tidak?” sahut Ruben menyiapkan bara api di bawah pohon pinus, sebuah kipas digenggamnya erat. “Rasanya benar-benar seperti dulu ya, Lie.”
“Bibi Lie dulu tinggal di Gandoriah?”
Bibi Lie mengangguk. “Kami tinggal di banyak tempat, tapi mungkin Gandoriah akan menjadi sangat berkesan. Almarhum suamiku, orang Pariaman, jemputannya dulu sepuluh ribu rupiah, ditambah satu sepeda BSA Birmingham.”
Syamil jadi tidak enak. “Maaf, aku tidak bermaksud untuk …”
“Taka apa, Syamil. Tak ada lagi rahasia di antara kita. Kau boleh bertanya apa saja.” Bibi Lie berpaling kepada Ruben, yang sekarang berhasil mengapit tiga ekor ikan tuna itu dan menjerangkannya di atas bara tempurung yang sudah mereka siapkan.
“Ruben juga mengalami hal yang sama, istrinya meninggal dua tahun yang lalu, orang Padang Panjang, Batipuh. Cantik, penuh semangat, sayang sekali kami sama-sama mendapatkan nasib yang sama. Tidak punya penerus seorangpun jua.”
Bibi Lie menghempaskan napasnya, lalu memandang jauh ke laut lepas sambil memangku kedua lututnya. Tiga ekor udang sudah berada di dalam minyak panas, bergelung dan mulai berwarna merah. Gemeletuk di dalam wajan yang ditutup.
“Aku jadi teringat masa lalu, namun jika memang apa yang kau katakana benar, Syamil. Pergi ke Belanda juga bukan masalah. Ah, sudahlah, jangan terus mengenang masa lalu. Kau sendiri bagaimana? Sejak kapan suka sejarah?”
“Dulu ayah seorang guru sejarah,” ujar Syamil ganti yang bercerita. “Barangkali darah itu yang mengalir padaku sekarang, buku-bukunya banyak, aku turut membacanya dan jadi tertarik. Mula-mula hanya sekedarnya saja, pelepas rasa penasaran. Namun lama-kelamaan ternyata antara yang satu dengan yang lainnya benar-benar memiliki kaitan yang sangat erat, aku bagai terjebak dalam jaring laba-laba.”
Bibi Lie tersenyum, tangannya kembali meraih pisau dan mengupas bengkuang. “Cerita yang bagus, buah tidak jauh jatuh dari pohonnya. Omong-omong soal nanti malam, apa kau bisa menyelesaikan membaca naskahnya dalam semalam, Syamil?”
“Mengapa begitu? Apa naskahnya hanya sedikit.”
“Tidak, ada sekitar lima puluh halaman yang diketik, sepuluh halaman terakhir ditulis dengan tangan, lalu juga ada dua halaman lainnya yang terpisah, berbahasa Belanda. Surat Alex van Helsing kepada seorang perempuan berdarah Minangkabau.”
“Semuanya?” Syamil terkejut, dia tidak menyadari itu. Alex adalah orang Belanda, maka naskah yang ditulisnya juga pasti dalam bahasa Belanda, bagaimana mungkin dia akan mengerti jika naskah itu tak bisa dibacanya?
“Tidak,” jawab Bibi Lie. “Hanya dua halaman itu saja yang berbahasa Belanda, kau bisa memotret dan menerjemahkannya jika keberatan kami yang membacakannya.”
“Apakah tidak sebaiknya naskah itu diperbanyak saja? Mungkin bisa dijadikan arsip atau dokumen …”
“Yeah, benar.” Bibi Lie memotong. “Tapi mereka tidak akan membiarkan kita memiliki naskah yang aslinya lagi. Selain itu, aku menjual peninggalan kakek moyangku dengan cuma-cuma, bukan, meyerahkannya begitu saja. Kami sudah memikirkan itu, Syamil, mungkin setelah misterinya terpecahkan kami akan melakukannya. Karena sampai saat ini aku masih dibayangi kata-kata terakhir yang ditulis dengan mesin ketik itu; Kami sudah tahu kalau akhirnya akan tiba, Jepang akan datang membekuk dan dengan begitu semua harta juga harus dipindahkan ke satu tempat. Agar nanti ketika kembali, semuanya dapat berjalan lancar. Aku mendapatkan tugas yang mulia itu, atas saran dari Houtman, kami memindahkan harta-harta itu selama sebulan penuh, mengangkutnya dengan truk dan berhasil menyelesaikannya. Jepang masuk, Kami sudah kalah. Ketika akan mengambilnya lagi di tahun 1947, kami tak diberi kesempatan oleh tentara Indonesia, harta itu terkubur bersama kenangannya.”
Syamil termenung. Dia kembali merasakan aliran adrenalin yang deras. Jadi benar tulisan itu merujuk pada Harta Karun Belanda? Ya, tak diragukan lagi karena salah satu tugas PID mungkin juga menyelamatkan kekayaan Belanda jika sesuatu yang buruk terjadi. Dan apa? 1947 adalah Agresi Militer Belanda I. Jadi selain kembali ingin berkuasa mereka juga menjemput harta yang mereka kubur itu? Bukan, lebih tepatnya harta rakyat yang mereka rampas.
“Tentang surat itu, kepada siapa Alex menulis?”
“Seorang wanita Minangkabau yang terpelajar, aku tidak bisa beritahu namanya sekarang, silakan saja kau membacanya nanti. Surat itu berisikan permintaan. Dapat kita artikan Alex menganggapnya sebagai bunga tulip selain Annie van Halen.”
“Apa?!”
“Hei, Pak Cik, apa sudah matang?” Bibi Lie meneriaki Ruben. Mengalihkan pembicaraan.
Ruben menunjukkan jempolnya, lantas mengangkat pemanggang dari atas tumpukan bara tempurung, matanya perih karena asap. Syamil tak diberi kesempatan untuk melanjutkan pertanyaannya karena Bibi Lie mengelak.
Tiba-tiba dia tersadar oleh satu hal, bagaikan tersengat listrik. “Satu lagi saja,” pintanya kepada Bibi Lie. Namun perempuan itu menggeleng.
“Makan dulu, nanti malam kau juga akan mengetahuinya, mari.”
“Aku ingin mengetahui nama perempuan itu,” desak Syamil. “Apa susahnya menyebutkan namanya saja?”
Bibi Lie menatap Syamil, tatapan itu mendapatkan tantangan. Perempuan itu memilih untuk mengalah, namun jawaban itulah yang membuat Syamil membeku.
“Alex van Helsing menulis kepada Hajjah Rangkayo Rasuna Said.”
(Bersambung …)