Oleh : Hasbunallah Haris
(Bagian empat)
Link bagian tiga : https://www.topsumbar.co.id/cerita-bersambung-wisata-masa-lalu-3/
Sejarah, adalah hal-hal yang selalu diterima meskipun menyimpan luka.
Kereta meluncur kencang di relnya, tiang-tiang listrik berlarian saling kejar. Syamil dapat melihat pemandangan Kota Padang dari balik jendela kaca kereta api, yang sesekali terdengar bunyi nyaring peluitnya. Mula-mula pelan, lantas gemeletuk roda besinya tingkah meningkah membentuk nyanyian yang ganjil namun penuh irama.
Arbi menguap di depannya. “Harry Potter pasti merasakan hal yang sama sekarang,” ujarnya entah kepada Syamil atau dirinya sendiri. “Kau akan menginap, Syamil? Barang-barangmu cukup banyak.”
Anak itu mengangkat bahu. “Bisa jadi iya bisa jadi tidak.”
“Baiklah, bangunkan aku jika sudah sampai. Aku ingin tidur sebentar. Kalau urusannya cepat selesai hubungi saja aku, atau pergi langsung ke Pulau Angso Duo. Aku akan ada di sana sebelum malam.”
Syamil tak perlu menanggapi, dia sudah asyik melihat ke luar jendela kaca. Bergulat dengan pikirannya sendiri. Setelah mendengar cerita yang ganjil dari Cik Maryati kemaren, dia jadi bertanya-tanya siapa mereka berdua? Pikiran pertama yang terlintas di dalam kepalanya adalah sejarawan, arkeolog, atau orang yang suka mengoleksi barang-barang antik. Tak tahan dengan pikirannya, Syamil meraih sebuah buku kecil dengan pena terselip di dalamnya, menuliskan beberapa catatan.
Ditulisnya kemungkinan tahun berapa Alex van Helsing datang ke Indonesia. Sebelumnya dia juga sudah mencari lokasi Hooglandse Kerk yang ternyata berada di Leiden. Dengan begitu dia berkeyakinan jika barang itu tak ada di Indonesia, maka pasti dibawa ke Belanda, ke kampung halamannya. Itulah maksudnya mengapa Cik Maryati menanyakan arti kata van kemaren padanya. Atau kemungkinan terakhir yang dia takutkan: naskah itu sudah dilenyapkan.
Syamil mencocokkan tahun dengan pembangunan Emmahaven yang sejalan dengan tambang batu bara di Ombilin. Saat itu Belanda tengah melancarkan proyek industri besar-besarannya. Tiga pilar yang menyertai itu adalah pembangunan tambang batu bara di Ombilin, pembangunan Emmahaven, dan yang terakhir pembuatan jalur kereta api ke sana. Ya, dia menemukan sedikit gambaran kasar, tahun 1891.
Setelah mencatatnya, Syamil melanjutkan pikirannya tentang kata-kata Cik Maryati barusan. Alex van Helsing adalah seorang pengkhianat. Dia mengkhianati negerinya sendiri. Dengan begitu itu adalah jawaban dari pertanyaanya kemaren, apakah dia akan seperti Douwes Dekker? Ya, itu sudah pasti sekarang. Tinggal mencari tahu mengapa dia sampai dicap demikian. Apakah dia, yang sebagai PID, memberikan laporan palsu? Membantu bumiputra? Atau malah membocorkan rahasia Belanda pada inlander? Dia tidak tahu, belum.
Dicoretnya lagi buku notes itu dan dialihkan pikirannya. Sekarang mengenai naskah yang hanya setengah. Apa mungkin untuk berhati-hati Alex membagi naskahnya dan mempercayakan kepada orang lain? Ah, tidak mungkin. Masih terlalu gelap untuk menyimpulkan sekarang, dia bahkan belum membacanya sebaitpun.
Syamil menyandarkan kepalanya. Memikirkan apa yang akan terjadi padanya. Jika benar naskah itu sudah menjadi barang incaran, maka dia yang mengetahuinya juga akan terseret ke dalam bahaya. Tapi sebagian pikirannya yang lain mengatakan bahwa itu adalah hal yang bagus, dia ingin mendapatkan pengalaman yang berkesan dalam hidupnya, dan Cik Maryati telah percaya padanya. Dia akan mendapatkan kehormatan.
Tak terasa, kereta sudah berhenti di Stasiun Alai, banyak orang naik, tak ada satupun yang turun. Bangku-bangku kosong penuh terisi. Seorang ibu-ibu berbadan tambun seorang gadis muda berstelan necis, dan seorang pria memakai jaket kulit masuk ke gerbong yang ditempati Syamil, menyusul banyak lagi di belakangnya.
Arbi mendengkur pelan, sesaat kemudian kantuk juga turut menyerang Syamil. Semalam suntuk dia belum tidur karena sibuk mencari buku sejarahnya. Setidaknya dia ada bahan perbincangan nanti dengan Cik Maryati jika ada kuis mendadak. Dia tak ingin mengecewakan perempuan itu.
Belum lama rasanya dia tertidur, seseorang sudah menyentuh bahunya lembut. “Dik, dik, sudah di Stasiun Gandoriah.”
Seorang wanita yang memakai kerudung dalam tersenyum pada Syamil. Dalam perasaannya dia hanya tertegun sebentar saja, buru-buru diucapkannya terima kasih kepada wanita itu dan mengambil barang-barangnya. Dibangunkannya Arbi yang masih terlelap. Sejnak, temannya itu memandang berkeliling, bangku sudah agak sepi, dan perempuan muda berdiri di dekatnya.
Keduanya lantas turun masih dalam keadaan mengantuk, luar biasa sekali saat turun dari kereta, keadaan yang berubah drastis itu serta merta membuat kepala sakit. Tadi di dalam kereta ada AC, dingin dan sejuk-sejuk saja untuk tidur, namun begitu keluar, udara panas pantas segera menyerang.
“Aku hendak ke masjid, kau ke mana?” ujar Syamil kepada Arbi.
“Aku akan langsung ke pantai, menyewa kapal untuk ke pulau, kau jangan lupa datang jika urusannya sudah selesai. Nah, aku duluan.” Arbi lantas melambaikan tangannya dan segera berlari menyeberangi rel kereta. Syamil mengangguk, membatin dalam hati bahwa urusannya tidak akan selesai cepat.
Dicarinya hp dalam saku dan sejenak kemudian sudah terdengar suara Cik Maryati di seberang sana.
“Kau sudah sampai, Syamil?” ujar perempuan itu datar, namun penuh penekanan. “Dengan siapa?”
“Sudah, Cik. Sendiri saja. Ini sudah di dekat masjid, di mana kita bertemu?”
“Kau bisa berjalan ke tugu Asean, aku di situ sekarang.”
Syamil menggerutu dalam hati, namun masih sempat menjawab ‘baiklah’ dengan nada lesu. Jujur saja dia tidak terlalu suka dipermainkan seperti itu. Namun mungkin orang itu punya maksud tersendiri.
Ketika Syamil hampir sampai di tugu Asean, ada yang memanggil namanya, dia menoleh, orang itu melambaikan tangan padanya. Seorang perempuan, memakai kacamata hitam dan jaket kepala bulu berwarna abu-abu. Syamil datang menghampirinya.
Setelah bersalaman, dia meletakkan ransel dan ikut duduk di bawah pohon pinus itu, tak berapa jauh dari tugu Asean. Seorang laki-laki membentangkan tikar sewa dan meletakkan banyak barang-barang piknik di atasnya. Ada berbagai macam buah dan makanan ringan, Syamil teringat dengan bengkuang yang dibawanya tadi.
“Sudah agak siang sekarang, tapi tidak akan ada masalah, kita terlindungi. Aku melihatmu keluar berdua dari kereta tadi. Siapa dia?” Orang yang bicara adalah Pak Cik Kasman.
Syamil tertegun sebentar, dia benar-benar harus waspada mulai dari sekarang. Dua orang itu bukan orang sembarangan. Tatapan mata mereka begitu wasapada dan juga gerak-geriknya.
“Kawan semasa sekolah, orang Solok Selatan, katanya hendak memancing.”
Cik Maryati mengangguk. “Aku sudah melihatnya naik kapal, tak masalah. Sudah makan, Syamil?”
“Sudah, Cik. Makan di rumah tadi.”
“Kalau begitu terima kasih bengkuangnya, aku mencium aroma kopi darimu.”
Syamil tersadar dia membawa kopi. Dia segera mengeluarkannya. Cik Maryati mengambil sebuah bengkuang dan mengupasnya, sedangkan Pak Cik Kasman sibuk dengan apel hijau di tangannya. Tanpa membuang waktu, ketiganya duduk agak merapat, membentuk lingkaran, namun lebih terlihat seperti segitiga.
“Harus kami katakana sekarang, Syamil. Kami harus mengujimu sebelum membiarkanmu membaca naskah itu.”
Syamil tak menyahut, tangannya menggenggam tutup termos yang berisi kopi.
“Sudah saatnya kami mengenalkan diri. Namaku. Bukan, nama sebenarnya, Lie. Dan orang yang mengenalkan diri sebagai Pak Cik Kasman padamu, Ruben van Helsing. Kami bukan suami istri, tapi adik kakak.”
Kaget Syamil mendengar pernyataan itu, hampir terlepas genggamannya pada tutup termos. Tapi sejauh ini dia sudah belajar mengatur diri setenang mungkin dalam situasi apapun. Keterkejutan itu hanya sebentar, air mukanya kembali normal.
Pak Cik Kasman, atau Ruben, menyerahkan selembar kertas pada Syamil. Isinya adalah pohon keluarga Alex van Helsing. Mata Syamil langsung tertuju kepada nama paling Atas. Alex van Helsing & Annie van Halen, lalu terus ke bawahnya: Eddie, Anna, Molly, Helena, hingga banyak sekali nama-nama lainnya di bawah.
“Kami adalah keturunan campuran,” ujar Ruben memberikan keterangan. “Ayah dan ibu orang Minangkabau. Pasti. Namun kami memberikan nama kami sendiri sebagai keturunan jauh Belanda. Lie dan Ruben adalah nama kami, maksudnya, hanya kami pakai ketika berdua saja.”
Syamil mengangguk. Bisa dibilang mereka berdua adalah cicit dari cicitnya Alex van Helsing. Darah yang mengalir dalam diri mereka bukan lagi darah murni Belanda, barangkali sudah banyak bercampur dengan darah bangsa-bangsa lain.
“Alasan kami memilihmu sederhana, Syamil. Dengan umur yang sangat muda kau sudah banyak berpengaruh di Sumatra Barat, kau kenal dengan orang-orang penting dan kami membutuhkanmu. Semasa sekolah, kau ikut tujuh kali pramuka yang berhasil kami catat, mungkin lebih. Di antaranya pramuka madrasah di Kota Padang, Cibubur, dan pramuka Santri di Kalimantan. Juga aktif dalam komunitas menulis, kau kenal dengan cukup banyak orang Dinas Kebudayaan dan punya akses yang cukup luas ke sana, juga para panulis dan penerbitan yang ada di Sumatra Barat. Namun tidak hanya sampai di situ, kami juga perlu menguji dan memintamu bersumpah.”
Hening, hanya deru ombak dan angin laut memainkan rambut yang terdengar. Syamil mengangkat kepalanya, dua orang dihadapannya sekarang tidak sedang main-main. Dia tahu itu. Mulai sekarang, perjalanan yang akan mereka tempuh akan sangat terjal, apalagi menghadapi musuh yang sama sekali belum mereka ketahui itu.
“Baiklah, aku setuju.” Syamil akhirnya berkata. “Memang sudah seharusnya aku lakukan.
“Bersumpahlah kau tidak akan membocorkan rahasia ini.”
“Aku bersumpah.”
“Bersumpahlah kau tidak akan memanfaatkannya untuk dirimu sendiri.”
“Aku bersumpah.”
“Bersumpahlah bahwa jika kau menuliskan kisah ini, maka kau tidak akan menyertakan tanggal dan tahun di dalam tulisanmu secara rinci.”
Syamil diam sebentar, lalu berujar, “Aku bersumpah.”
“Baiklah, sekarang berikan kesimpulanmu atas apa yang telah aku katakan padamu mengenai kisah leluhur kami.”
Syamil mengatur posisi duduknya, menarik napas dan menanangkan diri. Ini adalah ujian yang paling menentukan. Untung saja dia sudah mencatat beberapa poin di dalam buku notesnya di dalam kereta tadi. Sebelum tertidur.
“Aku mengira Alex datang ke Indonesia dalam rentang waktu antara tahun 1892 sampai tahun 1920.”
“Mengapa begitu?” tanya Cik Maryati atau Bibi Lie, Syamil harus memanggilnya begitu sekarang.
“Karena Emmahaven, tambang batu bara dan jalur kereta api. Ketiganya memilik keterkaitan yang erat, dan itu dibangun tahun 1891. Mengapa aku memilih hingga tahun 1920, karena mungkin, sejak tahun itu PID sudah dipulangkan, karena pada tahun yang sama Kota Padang sudah bertransformasi dengan sistem pendidikannya. Listrik dan waterleiding juga sudah masuk. Hal itu dikarenakan pada tahun 1906, Kota Padang sudah menjadi Kota Praja.”
Bibi Lie mendecap-decapkan bibirnya, memandang kepada Ruben sebentar. “Baiklah, meski itu rentang yang sangat lama aku mengakuimu cukup teliti, aku juga belum banyak menceritakannya padamu. Selanjutnya, apa yang mendorong orang lain untuk mencuri naskah yang ada pada kami?”
Syamil langsung menjawabnya. “Sederhana saja, naskah itu adalah harta yang sangat berharga. Kita sudah sempat membicarakan mengenai harta karun Belanda sebelumnya, mungkin orang yang mengincarnya juga mengetahui itu.”
“Memang, ada sedikit disinggung mengenai harta karun Belanda, tapi tidak ada patunjuk yang mengarahkan kita kepada tempatnya.”
“Cerdas, siapapun yang menulis naskahnya, tidak, langsung saja kukatakan, Alex van Helsing adalah orang yang cerdas. Pasti dalam tulisan itu dia sudah menyematkannya. Aku juga sudah mencarinya, kemungkinan dia lulusan Universitas Leiden.” Mata Syamil bersinar cemerlang. “Dan jika kita tak bisa menemukan sambungan naskahnya di Indonesia, kemungkinan naskahnya ada di Leiden, Belanda.”
Ruben dan Lie berpandangan. Takjub. Keduanya tak mengira akan mendapatkan jawaban seperti itu.
“Tapi, bagaimana kau bisa menyimpulkannya begitu?”
“Cerita sewaktu di dalam mobil, dibuka dengan Alex yang berada di Hooglandse Kerk, dan gereja itu berada di Leiden. Universitas Leiden sendiri didirikan tahun 1575, jauh sebelum Alex dilahirkan, dia mungkin lulusan universitas tua itu. Apakah dia menyinggung-nyinggung bunga tulip dalam tulisannya?”
Bibi Lie terkejut, dia berhenti mengunyah, demikian juga dengan Ruben yang tak kalah terkejutnya, yang hampir saja terlonjak.
“Oh, Tuhan …” kata keduanya. “Bagaimana kau mengetahuinya?”
“Aku hanya menebak.” Syamil tersenyum. “Bunga tulip berasal dari Leiden, bukan? Karena itulah dapat kusimpulkan naskah yang setengahnya lagi ada di sana. Setelah melihat pohon keluarga tadi, keyakinanku bertambah, siapa yang paling dipercaya oleh Alex sebagai bunga tulipnya? Ya, istrinya sendiri, Annie van Helen. Kemungkinannya mereka menikah dan hidup beberapa lama di Hindia Belanda ini, namun menurut perkiraanku, Annie pulang lebih dulu ke Belanda dan Alex menyusul. Tapi sebelum sempat, sesuatu pasti terjadi hingga tak dapat membuatnya kembali.”
“Apa misalnya?”
“Mudah saja, pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang.”
Ruben menggeleng pelan. “Kau harus ingat Syamil, antara tahun 1892 hingga ke 1942 yang kau terangkan sejak semula, itu terlalu jauh.”
“Memang.” Syamil tersenyum ganjil. “Aku sudah memperkiran itu dan juga kebingungan, namun tiba-tiba sebuah pemikiran lain datang. Alex van Helsing tidak datang untuk menyelidiki tambang batu bara di Ombilin. Ya, mungkin dari Belanda dia diberi tugas begitu, namun setelah sampai di Hindia Belanda, tugasnya bisa saja diganti atau bertambah banyak. Jadi, kesimpulanku, 1920 adalah tahun kedatangannya.” Tiba-tiba Syamil seperti orang terkejut. Dia bergumam pelan, “Apa mungkin dia juga menyelidiki kasus tentang flu Spanyol di Indonesia? Ya, ya, masih terlalu dini. Namun jika benar, flu Spanyol juga ada di tahun yang sama, 1920. Atau tahun di mana paham komunis masuk ke Indonesia.”
Ruben lama bertatapan dengan Bibi Lie, lantas saling mengangguk.
“Dia mungkin benar.”
(Bersambung …)