Oleh : Hasbunallah Haris
(Bagian tiga)
Link bagian dua : https://www.topsumbar.co.id/cerita-bersambung-wisata-masa-lalu-2/
Hal tersulit yang dilakukan seorang pecinta adalah mengenang peristiwa pahit di masa lalu dan berusaha tersenyum saat menceritakannya kembali.
Pukul dua siang, mobil sampai di Kota Padang, Syamil turun di simpang bandara. Meski hujan sudah sempurna reda, namun kabut dan hawa dingin masih menusuk-nusuk tulang, apalagi bagi Syamil yang hanya mengenakan baju kaus lengan pendek. Disandangnya ransel besar itu dan dia berpamitan kepada Pak Cik Kasman dan Cik Maryati. Orang baik yang baru dikenalnya.
“Minggu depan, Syamil, jangan lupa,” ujar Cik Maryati mengulangi. “Nanti naik kereta api saja dari stasiun Simpang Haru. Pukul berapa berangkat, kabari lebih dulu biar kami tunggu di Gandoriah.”
Syamil mengangguk, menyalami keduanya.
Setelah membayar uang ongkos mobil, Syamil menyeberang jalan menuju rumah makan, sudah dilihatnya kakaknya menanti di sana.
“Sejak dari Bukittinggi sudah hujan,” katanya begitu sampai di tempat kakaknya yang memakai jaket merah jambu. “Mengapa tidak membalas pesanku?” lanjutnya lagi sambil mengangkat tangan untuk memanggil pelayan. “Teh panas satu, Bang.”
“Baru selesai rapat,” jawab kakaknya singkat. “Mana paketnya?”
Syamil mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus oleh plastik berwarna biru, menyodorkannya. Beberapa saat kemudian pelayan membawakan teh panas untuknya. Tak banyak orang yang duduk di sana, rata-rata hanya orang kantoran yang menghabiskan hari, mungkin bosan melihat anak istri terus di rumah, mereka duduk bergerombol-gerombol, menggosipkan piala dunia.
“Sudah makan?” tanya kakaknya mengamati paket di tangannya. Syamil menggeleng. “Pesanlah makan, kita berangkat sehabis makan.”
Seminggu lamanya Syamil mendekam dalam kamar menunggu hari Sabtu untuk datang ke Gandoriah, dia sudah menceritakan pertemuannya dengan Cik Maryati di dalam mobil dan berniat mengunjunginya. Kakaknya tak memberi respon apa-apa, selama kuliahnya tidak terlantar, dia tak mempermasalahkan Syamil akan pergi ke mana.
Pagi Sabtu itu, sekitar pukul delapan, Syamil sudah menyandang ranselnya, beberapa helai baju sudah dimasukkannya, juga persediaan air minum dan sebuah termos kecil berisi kopi hitam. Dibawanya bengkuang seikat untuk oleh-oleh.
“Mau menginap di Pariaman?” tanya kakaknya yang sedang menyusun kertas-kertas laporan yang baru dikerjakannya semalam. Kakaknya adalah seorang guru. “Mau naik kereta jam berapa?”
Syamil mengangkat bahu, dia sedang memasang tali sepatunya. “Mungkin, jika urusannya belum selesai. Nanti akan aku kabari, dengan kereta jam sembilan.” Lalu dia bertolak ke stasiun Simpang Haru, tidak diantarkan kakaknya.
Cuaca mendung, awan kelabu berarak-arakan di atas sana, matahari belum muncul, namun pertanda akan hujan sepertinya tidak ada, atau mungkin nanti sore. Sambil menunggu kereta, dibukanya ransel dan dikeluarkan sebuah buku tebal, dia duduk di kursi besi stasiun sambil menunggu peluit kereta dari petugas stasiun.
Belum lama dia membaca buku itu, bahunya ditepuk seseorang dari samping. “Syamil?” ujar orang itu mengangetkan. “Ah, benar kau rupanya, kapan pulang dari Bukittinggi?”
“Arbi.” Syamil mengenal orang itu, Arbi adalah kawan satu sekolahnya dulu, namun sudah cukup lama keduanya tidak bertemu sejak perpisahan. “Sudah seminggu aku di rumah,” jawab Syamil menyalami Arbi. “Kau sendiri hendak ke mana pagi-pagi begini?”
Arbi menunjuk ransel gunungnya, dari dalam mencuat joran pancing dan beberapa peralatan mendaki. Sejak dulu pria itu memang pecinta alam, sudah lima kali dia memenangkan festival panjat tebing di kampus.
Sejenak, diperhatikannya buku yang dibaca Syamil. “Bagaimana kuliahmu? Lancar?”
Syamil mengangguk, melirik arlojinya. “Kau tidak bawa motor?”
“Uh, tidak menantang. Lagipun naik kereta jauh lebih murah.” Arbi mengeratkan dekapan tangannya, memandang ke depan. “Siang sampai sore nanti aku akan memancing, malamnya jalan ke Padang Panjang, hendak ke Merapi, ada kawanku di Pariaman yang hendak sama, makanya tidak bawa motor. Kau sendiri?”
“Aku ke Gandoriah, menemui seseorang.”
“Wah, wah, benar-benar sudah dewasa ya sekarang, jangan lama-lama, nikah aja langsung kalau memang sudah cocok.” Arbi tertawa melihat reaksi Syamil, dari dulu dia memang sangat suka menggodanya. Lalu dia berbisik, “Zaman sekarang kalau tidak dikasih DP langsung bisa-bisa didahului orang.”
“Ah, pikiranmu masih sama saja, aku tidak membahas perempuan. Ada seseorang yang ingin kutemui, orang Deli.”
Mata Arbi mengerjap-ngerjap. “Jadi, bakal jadi orang Deli kau rupanya, uh, uh, jauh juga tambang kau sekarang.”
Syamil menghempaskan napas berat, untung saja peluit kereta berbunyi, dengan begitu dia bisa terlepas dari percakapan Arbi yang mengganggunya. Syamil melirik tiketnya, gerbong tiga.
“Nah, aku di gerbong tiga.”
“Aku gerbong satu,” kata Arbi kurang senang. “Namun sesaat kemudian dia sudah tersenyum. “Kalau begitu aku naik dulu.”
Syamil mengangguk, mengemas barang-barangnya setelah Arbi naik ke kereta Sibinuang. Dituangkannya kopi dari termos dan diteguknya sebentar, lalu kembali disimpannya dan melangkah naik.
Baru saja dia menemukan kursinya, hp-nya berdering. Panggilan dari Cik Maryati.
“Sudah naik, Syamil?”
“Sudah, Cik. Dengan kereta jam Sembilan, mungkin satu jam lagi sampai di Pariaman.”
“Ah ya, kalau begitu kami tunggu di dekat masjid.” Lalu suara Cik Maryati terdengar lebih kecil, dia berbisik. “Dua malam yang lalu ada orang asing yang masuk ke penginapan kami, mungkin ada orang lain yang sedang mengincar cerita ini. Untung saja aku menyembunyikan naskahnya di dalam peti.”
“Maling?” Syamil tak mengerti mengapa dia juga harus diberitahu kalau Cik Maryati kemalingan. “Maksudnya bagaimana?” Syamil menyandarkan punggungnya, lesu. “Ada orang lain yang sedang mengincar cerita ini?”
“Dengar, Syamil. Kami masih memiliki naskah asli cerita yang ditulis sendiri oleh Alex van Helsing, lengkap dengan tanggal dan tahunnya. Apa saja yang dilakukannya tertulis dengan jelas di naskah itu. Tapi masalahnya sangat banyak sekali. Naskah yang ada pada kami hanyalah separoh pertama dari naskah yang ditulisnya, sedangkan naskah lainnya belum ditemukan. Satu-satunya alasan kami kembali ke Minangkabau adalah hendak menelusuri hal itu, namun sepertinya ada orang lain yang menyadari keberadaan kami.”
Syamil tersedak, dia menyadari sesuatu. Jadi itu maksudnya sewaktu dalam mobil Pak Cik Kasman berujar: Sejujurnya cerita itu, ‘kan, yang selalu kita pertanyakan?
“Jadi, sekarang bagaimana?”
“Tidak ada pilihan lain, kami tidak mungkin menyalin naskah itu dan memperbanyaknya. Terlalu berharga. Tapi jika aku menceritakannya padamu, kau mungkin bisa menceritakan dengan versimu sendiri. Itulah mengapa aku memilih untuk menceritakannya seminggu yang lalu. Sewaktu di Deli, naskah itu juga sudah beberapa kali hendak dicuri, tapi masih berhasil kami selamatkan.”
“Berarti orang yang sama.” Syamil langsung mengambil kesimpulan.
“Cerdas, ada kemungkinan seperti itu. Sekarang aku tanya padamu. Apa kau siap dengan segala kemungkinan yang akan kau hadapi nanti? Alex van Helsing adalah seorang pengkhianat, dia mengkhianati bangsanya sendiri. Mungkin ada beberapa rahasia yang masih belum terpecahkan dan kata kuncinya ada di dalam naskah yang dia tulis.”
“Harta karun zaman Belanda,” ucap Syamil cepat.
Cik Maryati tersenyum. “Aku tidak salah memilihmu, Syamil. Kau cerdas, kami juga sudah menyimpulkan hal yang sama. Bagaimanapun, kita harus mendapatkan bagian lainnya dari cerita ini. Kau suka berburu harta karun?”
Syamil berdebar-debar, dia tak segera menjawabnya. Perasaan ganjil sedang membanjiri sekujur tubuhnya, dia menggigil oleh nuansa petualangan yang akan segera dilaluinya. Ya, jika benar apa yang dikatakan Cik Maryati, maka Alex van Helsing pasti bukan orang sembarangan. Karena sampai sekarang masih ada orang yang mengincar tulisannya, terlepas apakah dia orang Belanda atau lainnya, naskah itu adalah gunung emas yang tak boleh terlepas dari genggamannya.
“Syamil, kau masih di sana?” Suara Cik Maryati mengangetkan Syamil.
“Ya,” jawabnya segera. “Kalau begitu setelah membaca naskah itu, kita akan telusuri tiap museum di Sumatra Barat dan mencari jejak naskahnya. Jika tidak kita temukan, akan kita cari berdasarkan nama-nama daerah yang pernah Alex van Helsing kunjungi, terutama Sawahlunto.”
“Bagus, aku yakin kau punya kenalan dengan orang Dinas Kebudayaan. Akan lebih memudahkan kita bergerak jika informasi yang kita punya cukup.”
Syamil mengangguk, matanya terang menunjukkan keoptimisan yang tinggi. “Aku punya orang dalam.”
Beberapa meter dari tempat duduk Syamil, Arbi tengah celinguk mencarinya. Dia bicara dengan orang yang duduk di sebelah Syamil, seorang pria setengah baya yang sedang membaca koran, menawarkan untuk tukar tempat duduk. Bilang dia ada urusan dengan anak itu.
“Nah, akhirnya kita bisa satu tempat duduk,” ujarnya meletakkan barang-barang di atas. “Kau keberatan jika aku duduk di sini?”
Syamil menggeleng. “Terserah kau saja.” Namun dari sorot matanya, Syamil menyadari ada yang diincar dari dirinya. Apakah Arbi tahu sesuatu?
(Bersambung …)