Taklim Ramadhan Hari Ke-8
Oleh: Amri Zakar Mangkuto Malin, SH, M.Kn
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه ُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد.
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa Ramadhan kepada orang beriman yang akan dijanjikan peringkat tertinggi dalam iman yaitu “ INSAN MUTTAQIN”.
Selama Ramadhan 1446 H ini, kajian kita akan berlangsung selama Ramadhan melalui “Jendela Ramadhan Taklim Top Sumbar”.
Marilah kita meningkatkan kualitas ibadah wajib dan Sunnat selama Ramadhan karena bagian dari bentuk syukur kepada Allah dan rasulNya, agar pada akhir Ramadhan nanti kita meraih titel MUTTAQIN dan tidak lupa berselawat kepada Nabi kita tercinta MUHAMMAD SAW dengan ucapan “Allahuma shalli alaa Muhammadin wa ala ali a Muhammad”.
Kafarat berasal dari kata “كفارة” yang berarti “tebusan”. Dalam konteks puasa, kafarat adalah denda yang harus dibayarkan sebagai konsekuensi atas pelanggaran tertentu, seperti dengan sengaja membatalkan puasa Ramadhan tanpa uzur yang dibenarkan.
Maka sebagai suami isteri pergaulannya DIATUR OLEH ALLAH SWT bukan BEBAS melakukan apa saja, khususnya berkaitan dengan PANGGILAN dan HUBUNGAN SUAMI ISTERI DISIANG HARI RAMADHAN.
Maka pada kajian kali ini kita kupas tuntas masalah larangan bagi suami isteri selama Ramadhan dan KAFARAT/DENDA yang harus dibayar sebagai perbuatan WAJIB yang tidak bisa ditawar dengan bentuk lain.
ASBABUNNUZUL SURAT ALMUJADALAH AYAT 1-4 TENTANG GUGATAN ISTERI TERHADAP SUAMI YANG MENZIHAR DIRINYA
Menurut https://islam.nu.or.id surat Al Mujadalah diturunkan sebagai jawaban atas pengaduan MASALAH RUMAH TANGGA Sahabat bernama Khaulah yang terlibat debat dengan suaminya Aus bin Shamit al-Anshari.
Dalam perdebatan itu, Khaulah dengan argumentasinya berhasil memojokkan suaminya. Hal itu membuat suaminya, Aus bin Shamit, jengkel hingga kemudian men-ZHIHARNYA (sumpah menyamakan istri dengan ibunya). Karena Zihar merupakan persoalan serius. Seseorang yang melakukan zihar kepada istrinya, maka istrinya menjadi haram baginya selamanya. Keduanya tidak boleh melakukan rujuk.
Maka turunlah surat Al-Mujadalah ayat 1-4: “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar tanya-jawab antara kamu berdua. Sesungguhya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat orang-orang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka.
“Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita-wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka HENDAK MENARIK KEMBALI APA YANG MEREKA UCAPKAN, maka (wajib atasnya) MEMERDEKAKAN SEORANG BUDAK SEBELUM KEDUA SUAMI-ISTRI ITU BERCAMPUR. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) BERPUASA DUA BULAN BERTURUT-TURUT SEBELUM KEDUANYA BERCAMPUR. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib lah atasnya) MEMBERI MAKAN 60 ORANG MISKIN. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan, itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat sedih”.
Menurut Tatam Wijaya dalam https://islam.nu.or.id Zhihar ada dua macam ungkapan zhihar seperti halnya ungkapan talak, ungkapan zhihar juga ada dua macam, yaitu PERTAMA SHARIH DAN KEDUA KINAYAH. Ungkapan sharih tidak ada niat seperti ucapan: “Bagiku, kamu seperti punggung ibuku,” Sementara ungkapan kinayah adalah ungkapan yang kemungkinan masih mengandung makna lain selain zhihar. Contohnya ungkapan suami terhadap istrinya, “Bagiku kamu seperti ibuku,” atau “Bagiku, kamu seperti saudara peremepuanku,” Jika ia bermaksud zhihar, maka ungkapan itu menjadi zhihar. Namun, jika ia bermaksud menyanjung, memuji, atau memuliakan istrinya tidak menjadi zhihar.
Zhihar adalah tradisi orang Arab Jahiliyah untuk MENCERAIKAN ISTERINYA. Maka Suami yang men-zhihar istrinya tidak lagi boleh menggaulinya sampai melakukan kafarat
PROBLEM ZHIHAR PANGGILAN “IBU,” “MAMAH,” “BUNDA,” ATAU “UMMI” SUAMI KEPADA ISTRI ATAU PAPA, ABI DAN AYAH DARI ISTERI KE SUAMI?
Perbuatan panggilan seorang anak ke ibu kandung atau isteri-isteri dari suaminya dengan bunda atau ibu menurut https://www.detik.com boleh, sebagaimana ketika Ibnu Hibban meriwayatkan hadits tentang ini dari Aisyah RA, “Ketika Abdullah bin Zubair lahir, Aisyah membawanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW membasahi bibir Abdullah bin Zubair dengan ludahnya, dan itulah sesuatu yang pertama kali masuk ke perutnya. Rasulullah SAW lalu bersabda, ‘Dia Abdullah dan engkau Aisyah adalah Ummu Abdullah.” (HR Ibnu Hibban).
Larangan Allah adalah MENJADIKAN ANAK ANGKAT MENJADI ANAK KANDUNG, sebagaimana firman Allah SWT: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).” (QS Al-Ahzab: 4).
Sedangkan panggilan suami ke isteri dipanggil sesuai CIRI DAN SIFATNYA seperti Rasulullah memanggil Aisyah dengan Beliau memanggil istrinya, ‘Aisyah RA dengan panggilan Humaira yang artinya ‘wahai yang pipinya kemerah-merahan’. Karena putihnya ‘Aisyah, jadi pipinya biasa nampak kemerah-merahan saat beraktivitas.
Sebab, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanadnya dari Abu Tamimah Al-Juhaimi: “Ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, ‘Wahai Ukhti!’ Lalu Rasulullah SAW berkata, ‘Apakah istrimu itu saudarimu?’ Beliau membencinya dan melarangnya.” (HR Abu Daud).
Maka Dari keterangan ini sebaiknya suami tidak memanggil istrinya dengan panggilan ‘Ummi’ yang berarti ‘wahai ibuku’, atau ‘Ukhti’ yang berarti ‘wahai saudariku. (https://www.orami.co.id)
KAFARAT PELANGGARAN SUAMI ISTERI KARENA MELAKUKAN HUBUNGAN INTIM DISIANG HARI RAMADHAN
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. dan berkata: ‘Aku telah binasa, wahai Rasulullah!’ Nabi bertanya: ‘Apa yang terjadi padamu?’ Ia menjawab: ‘Aku telah menggauli istriku di siang hari Ramadhan.’ Rasulullah bersabda: ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasulullah bersabda: ‘Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab: ‘Tidak.’ Rasulullah bersabda: ‘Apakah kamu mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab: ‘Tidak.'” (HR. Bukhari dan Muslim).
Apabila suami dan isteri melakukan hubungan intim disiang hari Ramadhan maka WAJIB baginya membayar KAFARAT sebelum keduanya bergaul sebagai suami isteri kembali, sebagaimana Kafarat Zhihar yang mengharamkan suami isteri bergaul sebagai suami isteri kembali sebelum membayar Kafarat atas PELANGGARAN HUKUM ALLAH DAN RASULNYA.
Cara membayar Kafarat memiliki tiga bentuk sesuai urutan yang ditentukan oleh syariat: Pertama Memerdekakan budak, namun karena di zaman ini praktik perbudakan sudah tidak ada, maka opsi ini tidak dapat dilakukan. Kedua :Puasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Jika seseorang tidak mampu melaksanakannya karena uzur syar’i, ia bisa mengambil opsi terakhir. Dan ketiga Memberi makan kepada 60 orang miskin, sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dalam fiqih, yaitu satu mud (sekitar 750 gram) makanan pokok per orang miskin atau senilai ukuran fidyah puasa.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa sebagai suami isteri BELAJARLAH HUKUM ZHIHAR agar tidak ikut ikutan budaya memanggil isteri dengan bunda, mama, umi atau suami memanggil papa, ayah dan abi kecuali panggilan ANAK KEPADA ORANGTUANYA atau memanggil buat mengajarkan anak memanggil ke orangtua.
Sesuai ajaran Rasulullah suami isteri dapat memanggil dengan panggilan sifatnya atau panggilan ADAT SETEMPAT seperti mas, aa, abang, uda dan sebagainya yang maknanya jauh lebih baik dan TERHINDAR DARI PANGGILAN ISLAM yang berpotensi ZHIHAR.
Kemudian selama bulan Ramadhan perlu diingat-ingat oleh suami isteri jangan melakukan hubungan suami isteri DI SIANG HARI RAMADHAN SELAMA WAKTU BERPUASA, sebab sanksi KAFARAT jauh lebih berat dan jika tidak dilaksanakan menjadi DOSA SEPANJANG HAYAT.
Sebab kafarat tersebut tidak dapat digantikan dengan SEMUA AMAL SHOLEH selama hidup tetapi WAJIB DIBAYAR KAFARATNYA. Makanya penting untuk diingat dan DIIMANI belajar hukum Allah selama Ramadhan agar bertambah keimanan.
Sukabumi, Sabtu, 8 Maret 2025)
Penulis berprofesi sebagai Notaris dan PPAT serta dosen dan pendakwah