Kajian Jumat Oleh : Amri Zakar Mangkuto Malin, SH, M. Kn
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه ُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد
قال الله تعالى: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
Pembaca TOP SUMBAR yang dirahmati Allah SWT.
Marilah kita selalu ingat dan berzikir dalam segala keadaan karena Roh untuk bekal hidup adalah TITIPAN ALLAH pada tubuh, ketika roh diambil maka tubuh akan tak ada harga dan nilai sama sekali karenanya DIKUBURKAN, sebab jika roh hilang dari badan maka TUBUH AKAN MEMBUSUK dan melebur dengan tanah.
Selawat dan salam pada nabi kita kekasih Allah SWT, semoga kita diberi safaat dan pertolongan didunia dan akhirat.
Pada bagian pertama kita sudah membahas tentang “Salah Paham Hukum Rujuk Pasca Perceraian Dalam Upaya Antisipasi Perzinahan Antara Suami Dan Isteri Atas Talak Terselubung”.
Bagian pertama menjelaskan tentang talak 3 atau perceraian setelah talak 1 dan talak 2 maka diwajibkan adanya Muhallil sebagai syarat untuk dapat rujuk dengan perkawinan baru, tetapi apabila masih TALAK 1 DAN TALAK 2 masih dapat RUJUK sesuai ketentuan yang akan kita bahas pada kajian ini atau dengan arti kata PERCERAIAN YANG DISELESAIKAN DENGAN RUJUK DAN PERKAWINAN BARU.
Perkawinan yang bubar karena talak dapat dilakukan proses rujuk dan/atau perkawinan baru sesuai ketentuan tingkat permasalahannya
KESALAH PAHAMAN HUKUM RUJUK PADA ZAMAN JAHILIYAH MENULAR SAMPAI AKHIR ZAMAN MENJADI SEBAB TURUNNYA SURAH AL-BAQARAH AYAT 229
Sering terjadi antara suami dan isteri yang TIDAK MEMAHAMI HUKUM PERKAWINAN bertengkar dan bermain-main dengan TALAK dan PERKAWINAN, sehingga perbuatan dan perkataan tersebut telah masuk kepada jatuhnya talak atau perbuatan terlarang karena akibat jatuh talak yaitu PERZINAHAN antara suami dan isteri yang sudah ditalak oleh suami.
Hukum Allah dan rasulNya diturunkan kepada Rasulullah sesuai peristiwa yang terjadi dan menerangkan hukumnya.
Menruut https://mjna.or.id bahwa menyebutkan dalam riwayat dari Aisyah yang menjadi ASSBABUNNUZUL (sebab-sebab turunnya ayat) Surah_Al-Baqarah_Ayat_229 disebutkan bahwa pada JAMAN JAHILIYAH SEORANG LAKI-LAKI BERLAKU SEMENA-MENA DAN SUKA-SUKA ATAS TALAK, seperti ”dulu laki-laki bebas mencerai istrinya dan menjadi suaminya kembali jika merujuknya, walaupun setelah mencerainya satu kali.
Maka sang istri mengadu kepada Rasulullah perihal suaminya. Beberapa saat rasulullah terdiam, hingga turunlah ayat ini:”TALAK (YANG DAPAT DIRUJUK) ITU DUA KALI. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim. (Qs Al-Baqarah/2:229) .
Dari ibnu abbas. Dulu seorang suami memakan dari pemberian yang telah ia berikan pada istrinya dan yang lainya tanpa meresa dosa akan hal itu dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Jauraij, dia berkata, “ayat ini turun pada Tsabit bin Qais dan Habibah istrinya. Habibah mengadukan suaminya kepada Rasulullah untuk kemudian minta diceraikan. Maka rasulullah berkata pada habibah ’apakah engkau mau mengembalikan kebun yang dia jadikan mahar untukmu?. Dia menjawab.’ Ya, saya mau’. Lalu Rasul memanggil Tsabit bin Qais dan memberitahukannya tentang apa yang dilakukan istrinya. Maka Tsabit berkata, ‘apakah dia rela melakukannya? Rasulullah menajawab,’Ya, dia rela.’ Istrinya pun berkata,’ saya benar-benar telah melakukannya.’
MASA IDDAH DALAM PERCERAIAN
Mengenai masa iddah atau masa tunggu dalam hal terjadi perceraian, dapat dilihat jangka waktunya dalam Pasal 153 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
Pertama: Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
Kedua: Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
Ketiga: Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Keempat: Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN YANG SAH (TERCATAT) HANYA SAH JIKA DILAKUKAN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan dihadapan dan oleh PEGAWAI PENCATAT NIKAH atau didaftar di KANTOR URUSAN AGAMA ISLAM bagi Muslim dan di Catatan Sipil bagi Non Muslim.
Pengaturan masalah perceraian di Indonesia secara umum terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa PERCERAIAN HANYA DAPAT DILAKUKAN DI DEPAN SIDANG PENGADILAN SETELAH PENGADILAN YANG BERSANGKUTAN BERUSAHA DAN TIDAK BERHASIL MENDAMAIKAN.
Putusnya ikatan perkawinan dapat terjadi apabila dilakukan Cerai gugat atau gugatan cerai yang dikenal dalam UUP dan PP 9/1975 adalah gugatan yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (Pasal 40 UUP jo. Pasal 20 ayat [1] PP 9/1975).
Dalam praktiknya Kompilasi Hukum Islam mengatur: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian” (Pasal 114 KHI).
Talak dapat dijatuhkan dengan putusan pengadilan dengan cara: “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.” (Pasal 129 KHI).
Menurut Ilmas, S.H.I., M.Sy dalam https://www.pa-cilegon.go.id menyebutkan bahwa Talak secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yang berarti lepas dan bebas. Sedangkan talak secara terminologi adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafaz talak.
Kata “melepaskan” atau membuka atau meninggalkan mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini terikat, yaitu ikatan pernikahan. Sedangkan kata “hubungan pernikahan” mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini.
Adapun kata “lafaz talak” mengandung arti bahwa putusnya pernikahan itu melalui suatu ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata talak.
PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN KARENA TALAK LISAN/ TULISAN
Pertama
Talak sunni, yaitu talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang menalak perempuan yang sudah pernah dicampurinya dengan sekali talak di masa bersih dan belum ia sentuh selama bersih itu. Firman Allah SWT Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Surat ath-Thalaq ayat 1).
Kedua
Talak bid’iy, yaitu talak yang dijatuhkan tidak menurut ketentuan agama. Bentuk talak yang disepakati ulama termasuk dalam kategori talak bid’iy itu adalah talak yang dijatuhkan sewaktu istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci, namun telah digauli oleh suami. Talak dalam bentuk ini disebut bid’iy karena menyalahi ketentuan yang berlaku, yaitu menjatuhkan talak pada waktu istri dapat langsung memulai iddahnya.
TALAK SAH DILAKUKAN KETIKA ISTERI DALAM KEADAAN SUCI (TIDAK SAH DALAM KEADAAN ISTERI HAID ATAU NIFAS)
Rasulullah SAW., bersabda: “Telah mengabarkan kepada kami Ismail bin Abdullah ia berkata telah mengabarkan kepadaku Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra., bahwa Ibnu ‘Umar ra., menalak istrinya dalam masa haidnya dan itu pada waktu Rasulullah SAW., masih hidup, lalu ‘Umar (bapak Ibnu ‘Umar) menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW. Kemudian Nabi bersabda: “Suruh dia (Ibnu ‘Umar) kembali kepada istrinya, kemudian menahannya sehingga istrinya itu suci kemudian haid dan kemudian suci. Sesudah itu jika ia mau, dia dapat menahannya dan kalau dia mau, dia boleh menalak istrinya itu sebelum digaulinya. Itulah masa iddah yang disuruh Allah bila akan menalak istrinya.”
Maka dari uraian di atas terdapat dua jenis Talak yang dapat memutuskan ikatan perkawinan yaitu talak yang dilakukan di HADAPAN HAKIM PENGADILAN dan TALAK DI LUAR PENGADILAN yang sering disebut dengan Talak secara islam. Maka perlu kepada suami isteri memahami talak secara slam agar tidak menimbulkan perzinahan dalam rumahtangga.
Menurut Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 103-104) dalam https://www.hukumonline.com menerangkan, dilihat dari bentuk cara terjadinya dan akibat hukumnya, talak satu dan dua dibedakan menjadi:
Pertama:
Talak raj’i atau talak ruj’I adalah talak yang masih boleh dirujuk. Sedangkan menurut Pasal 118 KHI, talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, di mana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah.
Yang termasuk talak raj’i yaitu: TALAK SATU ATAU TALAK DUA TIDAK PAKAI ‘IWADH (SEJUMLAH UANG PENGGANTI YANG MERUPAKAN SYARAT JATUHNYA TALAK) DAN KEDUANYA TELAH BERSETUBUH (BA’DA AL DUKHUL).
Kedua:
Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim agama berdasarkan proses ila’, yaitu sumpah si suami tidak akan mencampuri istrinya.
Ketiga ;
Perceraian dalam bentuk talak yang dijatuhkan oleh hakim agama berdasarkan persamaan pendapat dua hakam karena adanya syiqaq (keretakan yang sangat hebat antara suami dan istri), tidak pakai ‘iwadh.
TALAK LISAN DAN TULISAN SERTA DENGAN PERBUATAN ANTARA SUAMI DAN ISTERI KARENA PERTENGKARAN DALAM RUMAH TANGGA
Sering antara suami isteri TIDAK MENGETAHUI DAN TIDAK MENYADARI karena pertengkaran lantas mengucapkan kata yang termasuk talak, maka ketika itu dilakukan diantara suami isteri TELAH JATUH TALAK WALAU BELUM MENGURUS KE PENGADILAN.
Menurut Ilmas dalam https://www.pa-cilegon.go.id mengemukakan bahwa Ditinjau dari segi ucapan yang digunakan, talak terbagi dua macam:
pertama TALAK TANJIZ, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan UCAPAN LANGSUNG, tanpa dikaitkan kepada waktu, baik menggunakan ucapan sharih maupun kinayah. Ucapan sharih contohnya adalah “AKU CERAIKAN ENGKAU DENGAN TALAK SATU”. Adapun contoh ucapan kinayah adalah “KITA BERDUA SUDAH TIDAK ADA HUBUNGAN LAGI”.
Maka BERHATI-HATILAH antara suami isteri ketika bertengkar, jangan sampai mengucapkan dan bersikap yang tergolong kepada TALAK.
Kedua : TALAK TA’LIQ, yaitu talak yang dijatuhkan suami dengan menggunakan ucapan yang pelaksanaannya digantungkan kepada sesuatu yang terjadi kemudian.
Contoh talak ta’liq adalah “JIKA ENGKAU KELUAR DARI RUMAH, MAKA ENGKAU SAYA TALAK”.
Sedangkan Ditinjau dari segi siapa yang secara langsung mengucapkan talak, yaitu terbagi menjadi dua:
pertama TALAK MUBASYIR, yaitu talak yang langsung diucapkan sendiri oleh suami yang menjatuhkan talak, TANPA MELALUI PERANTARAAN ATAU WAKIL.
Kedua : TALAK TAWKILI, yaitu talak yang pengucapannya tidak dilakukan sendiri oleh suami, tetapi dilakukan oleh ORANG LAIN ATAS NAMA SUAMI.
PERCERAIAN SECARA BAIK-BAIK ADALAH MENJADI OPSI PERTENGKARAN SUAMI ISTERI SEBAGAIMANA PERKAWINAN YANG DILAKUKAN SECARA BAIK-BAIK
Sering jika terjadi masalah diantara suami isteri, menimbulkan pertengkaran bahkan saling menzolimi dan menyakit, padahal dilarang oleh Allah dan RasulNya.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak (boleh) ada madharat dan tidak boleh saling mencelakai. [HR. Ahmad dan Ibnu Mâjah] dan firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka [Ath-Thalâq/65:6].
Jangan mencari-cari masalah atas suami/ isteri untuk terjadinya pertengkaran Sebagaimana firman Allah SWT : ”Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. [ QS An-Nisâ/4:34].
Dari uraian di atas jelaslah bahwa perkataan lisan, tulisan, dan perbuatan suami isteri yang termasuk TALAK dapat memutus ikatan perkawinan, karenanya TIDAK HALAL lagi suami isteri bergaul dan melakukan kewajiban antara suami dan isteri, kecuali dilakukan RUJUK atau perkawinan baru antara keduanya secara sadar dan MEMATUHI HUKUM ALLAH DAN RASU.
Karena percerain di pengadilan adalah hukum duniawi buatan manusia, sehingga antara suami dan isteri lebih mementingkan hukum Allah SWT apabila terjadi pertengkaran dan melakukan talak maka selesaikan dengan RUJUK secara islam jangan menunda atau beralasan dengan mengatakan MASIH SAH SUAMI ISTERI SAMPAI ADA PUTUSAN PENGADILAN, hal ini akan membuat TALAK TERSELUBUNG yang menimbulkan dosa dan PERZINAHAN diantara suami dna isteri, apalagi sampai lahir anak dalam masa telah terjadi talak dan belum rujuk maka itu menimbulkan keraguan akan hukum dan status anak dalam perkawinan.
NUUN WALQOLAMI WAMA YASTHURUN.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
(Sukabumi, Jumat, 15 November 2024)
Penulis merupakan seorang pendakwah, dosen, penulis buku dan praktisi hukum