TOPSUMBAR – Moh. Natsir, putra asal Maninjau yang lahir di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Kabupaten Solok pada 17 Juli 1908, dan wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta dalam usia 84 tahun adalah salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah Indonesia.
Natsir dikenal luas sebagai seorang negarawan, pendidik, dan pemimpin politik yang berdedikasi dalam memperjuangkan kemajuan bangsa dan umat Islam.
Ia adalah tokoh yang berperan dalam pembentukan Kementerian Agama, yang kini dikenal sebagai Departemen Agama (1946), saat menjabat sebagai anggota Badan Pekerja KNIP, yang merupakan parlemen pertama Republik Indonesia (1945-1946).
Pada masa itu, Natsir juga pernah menjabat sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia (1946-1949) dan Perdana Menteri Republik Indonesia (1950-1951).
Selain itu, Natsir adalah pendiri sekaligus Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958), partai yang memiliki pengaruh besar dalam politik Indonesia pada periode tersebut.
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya yang luar biasa dalam dunia politik dan pendidikan, pada 7 November 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Natsir serta Bintang Mahaputera Adiprana.
Selain kontribusinya di dalam negeri, Natsir juga diakui sebagai tokoh terkemuka dunia Islam.
Ia pernah menjabat Wakil Presiden World Muslim Congress di Karachi, Pakistan pada 1967, dan terlibat aktif dalam berbagai organisasi internasional, seperti World Muslim League di Mekkah (1969) dan Majlis A’la al-Alam lil Masajid (Majelis Tinggi Masjid Se-Dunia) pada 1972.
Natsir bahkan pernah menerima penghargaan Faisal Award dari Raja Faisal pada tahun 1980 atas dedikasinya kepada Islam.
Natsir juga dikenal sebagai penulis produktif, khususnya buku Islam. Beberapa karya tulisnya yang terkenal antara lain Fiqh Da’wah dan Ikhtaru Ahadas Sabilain (Pilih Salah Satu dari Dua Jalan), serta Qadhiyatu Falisthin (Masalah Palestina), yang menggambarkan pemikirannya tentang Islam dan Palestina.
Atas kontribusinya dalam bidang pemikiran Islam, Natsir dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh berbagai universitas ternama, seperti Universitas Islam Libanon pada 1967, Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Universitas Saint dan Teknologi Malaysia pada 1991.
Kepribadiannya yang sederhana dan penuh keteladanan adalah salah satu ciri khas Natsir.
Di tengah-tengah kemewahan dan kekuasaan yang melingkupi dunia politik, Natsir tetap hidup sederhana, menjadikan Islam sebagai landasan utama dalam setiap langkah kehidupannya.
Ia adalah contoh nyata seorang tokoh yang menghidupi Islam dalam kehidupannya, bukan sekadar memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi.
Kepribadian Natsir yang selalu hidup dalam kesederhanaan menjadi contoh teladan yang patut dihargai.
Ia merupakan salah satu dari sedikit tokoh Islam Indonesia yang berjuang untuk menghidupkan nilai-nilai Islam, bukan memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi, seperti yang sering dilakukan oleh banyak orang yang mengaku sebagai tokoh Islam saat ini.
Ketokohannya di dunia Islam terbukti jelas. Di awal masa Orde Baru, Ali Moertopo dan Benny Moerdani diutus oleh pemerintah untuk bertemu dengan Tengku Abdurrrahman, Perdana Menteri Malaysia, guna membicarakan pemulihan hubungan Indonesia-Malaysia.
Keduanya baru diterima oleh Abdurrrahman setelah membawa surat pribadi dari Moh. Natsir yang masih dipenjara pada masa itu (1960-1966).
Begitu juga ketika Menteri Luar Negeri Indonesia, Dr. Soebandrio, menunaikan ibadah haji dan bertemu dengan Raja Faisal pada tahun 1965.
Dalam pertemuan tersebut, Soebandrio menceritakan perkembangan Islam di Indonesia, namun Raja Faisal marah dan mempertanyakan mengapa pemerintah Indonesia menahan Natsir.
“Saudara tahu, Natsir bukan hanya pemimpin umat Islam Indonesia, dia adalah pemimpin umat Islam dunia!” kata Raja Faisal.
Ditulis oleh: Fachrul Rasyid Hf
Dapatkan update berita terbaru dari Topsumbar. Mari bergabung di Grup Telegram Topsumbar News Update, caranya klik link https://t.me/topsumbar kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel