TOPSUMBAR – Diambil dari Buku Refleksi Sejarah Minangkabau dari Pagaruyung sampai Semenanjung – FR – 2008. Kota Padang, ibukota Provinsi Sumatera Barat, tidak hanya terkenal dengan keindahan alam dan budaya Minangkabaunya, tetapi juga dengan sejarah panjang yang berkaitan erat dengan perencanaan kota yang matang pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir. Eko Alvares pada tahun 1993, kita dapat melihat bagaimana kota ini dibangun dengan visi yang jelas pada tahun 1930 oleh Ir. Herman Thomas Kharsten, seorang arsitek Belanda yang memiliki pengaruh besar dalam perencanaan kota-kota di masa kolonial (Berdasarkan Rusli Amran pada Perang Tempo Dulu, sekitar tahun 1937 di Padang yang masih sebuah kecamatan dari Kabupaten Pesisir Selatan).
Desain Kota Padang yang berbentuk segi empat ini mencerminkan pemikiran strategis dan fungsi yang pragmatis. Balaikota Padang, yang dirancang sebagai pusat administratif kota, menjadi simbol sekaligus titik pusat dari segala aktivitas perkotaan.
Gedung dua lantai dengan desain huruf “L” dan menara berbentuk tugu yang dihiasi dua jam besar, melambangkan kedisiplinan, menghadap ke arah laut Hindia sejauh dua kilometer atau lima kilometer ke timur laut Pelabuhan Muara.
Di depan gedung, terdapat jalan lurus yang membentang sepanjang empat kilometer mulai dari Jalan Hang Tuah di tepi laut, melintasi Jalan Raaffweg (sekarang Jalan M. Yamim), dan berlanjut ke timur hingga mencapai Jalan Proklamasi, yang terletak di depan Rumah Sakit TNI Dr. Reksodiwirjo, yang dibangun pada tahun 1787.
Sekitar 150 meter ke timur dari Balaikota, terdapat benteng pertahanan yang kini telah direnovasi dan menjadi Markas Poltabes Padang.
Dari persimpangan empat di depan kantor polisi, jika melanjutkan perjalanan ke kanan, akan menuju Jalan Bagindo Aziz Chan (dulu Jalan Societeitsweg), terus menuju Kampung Alanglaweh, melewati Masjid Raya Ganting (Lihat Masjid Raya Ganting), hingga ke Pelabuhan Telukbayur dan Bengkulu.
Jika berbelok ke kiri, akan melewati Kampung Balantuang, menuju Jalan yang kini menjadi Jalan Jenderal Sudirman, tepat di depan Gedung Resident (sekarang menjadi gubernuran), dan terus mengarah ke Jalan Rasuna Said di Rimbo Kaluang.
Sementara itu, dari belakang Balaikota, dibangun jalan lurus sejauh 15 kilometer ke arah timur, dimulai dari Kampung Jawa (sekarang Pasar Raya Padang), melintasi Jalan Jenderal Sudirman, Jalan H. Agus Salim, hingga mencapai Indarung, lokasi Pabrik Semen Padang, atau menuju Kabupaten Solok dan Jalan Lintas Tengah.
Kampung Jawa mendapatkan nama tersebut karena Belanda membawa sejumlah tentara Diponegoro yang dipimpin oleh Panglima Sentot Alibasa, yang berbalik melawan Diponegoro, untuk menaklukkan Kerajaan Pagaruyung.
Di depan Balaikota, terdapat lapangan terbuka hijau seluas 4 hektare yang kini dikenal sebagai Lapangan Imam Bonjol, yang membentang hingga ke Masjid Nurul Iman.
Di samping lapangan tersebut, dibangun jalan yang mengarah ke kawasan pecinan Kampung Pondok, Tanah Kongsi, Pasar Mudik, dan Pasar Gadang.
Dari Pelabuhan Muara, dibangun jalan lurus sepanjang sekitar 500 meter yang terletak di tepi pantai, melewati Jalan Diponegoro, Veteran, hingga Jalan Prof. Hamka, yang terletak di depan Bandara Tabing, dan mengarah ke Bukittinggi serta Provinsi Riau.
Namun, yang patut kita catat dalam perencanaan kota Padang adalah perhatian terhadap masalah pertahanan dan bencana.
Belanda tidak membangun jalan sepanjang pantai seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang sekarang, yang kemudian dihentikan oleh Gubernur Gamawan Fauzi, SH.
Yang dibangun oleh Belanda hanyalah beberapa jalan poros yang mengarah ke pantai, yang kemudian dikenal oleh penduduk sebagai Jalan Purus.
Menurut Eko, jalan-jalan poros ini berfungsi untuk sirkulasi udara kota yang memiliki suhu rata-rata 23-32 derajat Celsius, serta sebagai jalur evakuasi jika terjadi tsunami, seperti yang tercatat pada tahun 1833.
Karena itu, hampir semua jalan poros tersebut terhubung dengan jalan utama kota yang mengarah ke daerah perbukitan.
Selain itu, jalan poros juga digunakan sebagai jalur pengamanan Kota Padang dari potensi serangan musuh melalui laut.
Eko, seorang alumni Magister Teknik Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung, menjelaskan bahwa Belanda juga membangun ruang terbuka hijau untuk menjaga kesegaran kota, yang sekaligus berfungsi sebagai lapangan olahraga di hampir setiap ruas jalan kota.
Sebagai contoh, ada ruang terbuka Taman Melati (yang dulunya dikenal sebagai Lapangan Michiels dengan tugu Michiels), di mana di depannya dibangun Hotel Oranje, yang kini dikenal sebagai Hotel Ina Muara.
Menurut Eko, yang juga merupakan dosen Arsitektur Perkotaan di Fakultas Teknik Universitas Bung Hatta, Belanda menyadari bahwa wilayah kota yang mencakup sekitar 33 kilometer persegi (wilayah Kota Padang lama dengan empat kecamatan) merupakan daerah rawa, dengan elevasi tanah yang hanya berkisar antara 0 hingga 3 meter di atas permukaan laut.
Wilayah ini menjadi area penampungan air hujan yang mengalir dari perbukitan di sebelah timur kota.
Untuk itu, selain memperbanyak ruang terbuka hijau, Belanda juga membangun sejumlah drainase, seperti di Bandar Jati, Bandar Purus, dan Bandar Damar.
Bandar Jati berfungsi untuk menghentikan aliran air dari timur menuju pusat kota. Ketika saluran ini meluap, seperti yang terjadi pada 21 Oktober 2002, Balaikota Padang terendam banjir.
Untuk mencegah banjir dan melindungi Pelabuhan Muara dari ancaman Batang Arau, Belanda juga membangun sebuah kanal banjir antara tahun 1911 hingga 1918.
Kanal selebar 30 meter dan sepanjang 7 kilometer ini mengalir dari Lubukbegalung menuju Purus Lima, yang dikenal oleh penduduk setempat sebagai Banda Bakali, dan berfungsi untuk membagi aliran air Batang Arau.
Ditulis oleh: Fachrul Rasyid Hf
Dapatkan update berita terbaru dari Topsumbar. Mari bergabung di Grup Telegram Topsumbar News Update, caranya klik link https://t.me/topsumbar kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel