Manajemen BRI Beri Tanggapan Terkait Rencana Prabowo tentang Pemutihan Utang untuk Petani dan Nelayan

Manajemen BRI Beri Tanggapan Terkait Rencana Prabowo tentang Pemutihan Utang untuk Petani dan Nelayan (foto: dok.istimewa)

TOPSUMBAR – Manajemen PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, atau BRI, menanggapi rencana pemerintah untuk menerbitkan kebijakan pemutihan utang bagi pengusaha, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta petani dan nelayan.

Direktur Bisnis Mikro BRI, Supari, menjelaskan bahwa pihaknya akan menunggu penerbitan peraturan presiden (Perpres) yang berkaitan dengan penghapusan utang pelaku usaha.

“Industri pembiayaan yang terkait dengan pengelolaan kredit bermasalah, termasuk melalui hapus buku dan hapus tagih, perlu dicermati dengan baik,” ujar Supari dikutip dari Bloomberg Technoz pada Jumat, 25 Oktober 2024.

Bacaan Lainnya

Supari menjelaskan bahwa “hapus buku” adalah penghapusan pencatatan pinjaman dari neraca bank dengan kriteria tertentu, seperti pinjaman yang macet dan sudah dicadangkan 100%.

“Namun, hapus buku tidak menghilangkan kewajiban debitur untuk membayar pinjaman, sehingga penagihan tetap akan dilakukan,” tambahnya.

Sementara itu, “hapus tagih” berarti penghapusan kewajiban debitur atas kredit yang sudah dihapus buku, di mana pinjaman tidak akan ditagih kembali.

Kebijakan ini biasanya diterapkan dalam kondisi tertentu, seperti bencana alam, dan harus disetujui dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Diketahui, kebijakan hapus tagih juga telah diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), tetapi masih memerlukan peraturan pelaksanaan untuk menentukan kriteria nasabah yang berhak mendapatkan pemutihan.

“Kami yakin bahwa kebijakan dan peraturan pelaksanaan yang akan dikeluarkan akan mempertimbangkan kepentingan semua pihak terkait,” ujar Supari.

Di sisi lain, dilansir dari finansial bisnis, Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menyatakan dukungannya terhadap pemutihan utang untuk UMKM.

Namun, ia menekankan perlunya perhatian khusus dari pemerintah untuk menghindari moral hazard.

“Pemutihan utang harus dibatasi, terutama terkait bencana nasional, termasuk dampak Covid-19,” ujarnya.

Royke menambahkan bahwa Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) harus terlibat dalam penyusunan kebijakan pemutihan utang, agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Aparat Penegak Hukum (APH) dapat berkontribusi.

“Sebaiknya, OJK dan APH harus dilibatkan dalam penyusunan kebijakan tersebut,” harapnya.

Sementara itu, PT Bank Oke Indonesia Tbk (DNAR) yang merupakan salah satu bank milik swasta saat ini juga sedang mempelajari regulasi yang akan diterbitkan.

Direktur Kepatuhan Bank Oke, Efdinal Alamsyah, menyatakan bahwa pemutihan utang yang sudah dihapus buku tidak akan berdampak pada kinerja keuangan bank, tetapi dapat meningkatkan daya beli petani dan nelayan serta memperkuat sektor UMKM.

Namun, Efdinal juga memperingatkan tentang kemungkinan dampak negatif dari kebijakan ini, di mana beberapa nasabah mungkin menjadi kurang disiplin dalam mengelola utang mereka.

“Regulasi yang jelas sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan yang dapat merugikan pelaku UMKM yang jujur,” tegasnya.

Selain itu, Trioksa Siahaan, Head of Research LPPI, sebagai seorang pengamat, dirinya mengingatkan bahwa aturan ini harus dirumuskan dengan jelas untuk menghindari kebingungan di sektor perbankan.

Menurutnya, penting untuk menetapkan kriteria yang jelas terkait pemutihan utang.

“Perlu adanya kejelasan kriteria mengenai penghapusan utang tersebut karena pada dasarnya, kredit adalah kewajiban yang harus dipenuhi dan ada tanggung jawab untuk mengembalikannya,” ungkapnya.

Diketahui sebelumnya, rencana pemutihan utang ini telah diungkapkan oleh Hashim Djojohadikusumo, adik Presiden Prabowo Subianto, yang mengatakan bahwa Perpres mengenai pemutihan utang untuk 5-6 juta orang, termasuk petani dan nelayan, sedang dalam proses persetujuan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Atgas.

“Kami berharap Perpres tersebut dapat ditandatangani segera,” kata Hashim.

Hashim menambahkan bahwa banyak utang tersebut berasal dari masa lalu, termasuk krisis moneter 1998.

Dikatakannya, meskipun penghapusan buku telah dilakukan, hak tagih bank belum dihapus, membuat banyak petani dan nelayan kesulitan mendapatkan pinjaman dari bank karena Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) ditolak oleh OJK.

Kondisi ini membuat sekitar 6 juta nelayan dan petani akhirnya beralih ke rentenir atau pinjaman online (pinjol) demi mendapatkan dana.

Situasi tersebutlah yang menjadi dasar bagi Prabowo untuk merancang kebijakan pemutihan utang bank bagi petani dan nelayan ini.

Melalui kebijakan ini, ia berharap mereka dapat mengajukan pinjaman kembali.

“SLIK tidak akan ditutup oleh OJK,” tegas Hashim.

(HR)

Dapatkan update berita terbaru dari  Topsumbar. Mari bergabung di Grup Telegram  Topsumbar News Update, caranya klik link https://t.me/topsumbar kemudian join. Anda harus instal aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel

Pos terkait