Pilkada dan Calon Tunggal, Kotak Kosong Bukan Sekadar Pilihan Kosong

Pilkada dan Calon Tunggal, Kotak Kosong Bukan Sekadar Pilihan Kosong

Oleh: Mahmud Marhaba

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan penting yang menurunkan ambang batas pengusungan calon kepala daerah oleh partai politik pada 16 Oktober 2023 lalu.
Ambang batas yang semula 20% kursi DPRD atau 25% suara sah kini menjadi hanya 6,5% hingga 10%, tergantung pada jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap.

Keputusan ini memberikan peluang lebih besar bagi partai-partai politik, termasuk yang kecil, untuk berpartisipasi dalam pencalonan kepala daerah, yang diharapkan dapat memperkaya pilihan calon bagi pemilih dan mendorong dinamika politik lokal yang lebih sehat.

Bacaan Lainnya

Penurunan ambang batas ini membuat lebih banyak partai politik bisa mengusung calon kepala daerah, yang pada akhirnya akan memperluas pilihan bagi masyarakat.

Ini adalah langkah maju dalam upaya memperkuat kualitas demokrasi lokal, karena masyarakat dapat memilih calon yang lebih sesuai dengan aspirasi mereka.

Dengan lebih banyak kandidat yang bersaing, partai-partai politik akan terdorong untuk mengusung calon dengan rekam jejak dan kapabilitas yang lebih baik.

Fenomena Calon Tuggal vs Kotak Kosong

Namun, meski ambang batas diturunkan, fenomena calon tunggal masih terjadi di sejumlah daerah. Tercatat ada 43 kabupaten/kota dan 1 provinsi yang akan menghadapi calon tunggal melawan kotak kosong.

Situasi ini menunjukkan dominasi politik oleh kandidat tertentu yang berhasil meraih dukungan mayoritas partai.

Fenomena ini menarik, karena jika calon tunggal tersebut menang melawan kotak kosong, ia akan menjadi kepala daerah yang sah. Namun, jika kotak kosong menang, Pilkada harus diulang sesuai ketentuan yang ada.

Kemenangan kotak kosong sering kali menjadi simbol ketidakpuasan masyarakat terhadap calon tunggal yang tersedia. Ini bisa menjadi sinyal kuat bahwa masyarakat menginginkan calon alternatif yang lebih mewakili aspirasi mereka.

Jika calon tunggal gagal meraih lebih dari 50% suara sah, maka pemerintah akan menunjuk penjabat sementara untuk menjalankan pemerintahan hingga Pilkada ulang diadakan, baik pada tahun berikutnya atau sesuai dengan siklus lima tahunan Pilkada.

Hal ini telah tertuang dalam Pasal 54 D ayat 3, yang menyatakan bahwa jika kotak kosong menang maka Pilkada harus diulang pada tahun berikutnya atau sesuai jadwal 5 tahun sekali.

Pejabat sementara yang dimaksud ialah penjabat gubernur, bupari, atau wali kota yang akan menjalankan pemerintahan sementara.

Dalam konteks ini, penting bagi partai politik untuk lebih aktif mencari figur-figur potensial sebagai calon kepala daerah alternatif, demi mencegah terjadinya dominasi calon tunggal.

Partisipasi masyarakat juga sangat penting untuk memastikan proses demokrasi berjalan sebagaimana mestinya, dengan pilihan yang lebih beragam dan representatif.

Pengaturan Perolehan Suara dan KPU

Pengaturan mengenai perolehan suara dalam Pilkada juga telah diatur dengan jelas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 107 Ayat (1) tentang Pilkada, pasangan calon dengan suara terbanyak akan ditetapkan sebagai pemenang.

Namun, untuk calon tunggal yang berhadapan dengan kotak kosong, pasangan calon tersebut harus meraih lebih dari 50% suara sah agar bisa ditetapkan sebagai pemenang. Jika kotak kosong menang, maka Pilkada ulang harus diadakan.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya partisipasi dalam Pilkada, termasuk konsekuensi memilih kotak kosong.

Edukasi ini perlu mencakup informasi mengenai dampak dari kemenangan kotak kosong terhadap pemerintahan daerah dan proses demokrasi secara keseluruhan.

Dengan pemahaman yang baik, masyarakat diharapkan dapat membuat keputusan yang lebih bijak dalam Pilkada. Partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan proses Pilkada juga sangat penting untuk menjaga integritas demokrasi.

Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan visi, misi, dan kemampuan nyata, bukan sekadar karena kurangnya pilihan.

Melalui pengawasan dan keterlibatan aktif dari semua pihak, Pilkada dapat menjadi sarana yang efektif untuk menciptakan pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Jakarta, 2 September 2024

Penulis merupakan seorang jurnalis yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pro Jurnalismedia Siber (PJS).

Pos terkait