Oleh : Eddy Yatman
Terlepas dari batalnya Pasukan Berani Mati (PBM) berunjuk rasa di Jakarta pada hari ini, yang akan saya sajikan dalam tulisan berikut ini adalah kisah tiga anggotanya yang, konon, benar-benar mati sebelum demo itu terlaksana.
Karena berita tersebut merupakan kabar burung, tentu saya tak bisa mengklarifikasi kebenaran info ini. Sebab, saya tak bisa berkomunikasi dengan burung. Bisa jadi, penyebab tewasnya mereka itu karena ajal mereka memang sudah tiba, atau bisa juga lantaran mereka dihajar habis oleh Pasukan Berani Mati Hidup.
Sesampainya di alam kubur, dengan wajah yang lusuh, lebam-lebam, dan penuh lelehan darah segar, mereka pun ditanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir.
Munkar: Siapa nama kalian?
PBM 1: Kawi, Pak!
PBM 2: Kiwi, Om!
PBM 3: Jawi, Bung!
Munkar: Kok mirip-mirip nama kalian, ya? Kalian bersaudara?
Kawi: Tidak, Pak!
Kiwi: Kita baru ketemu di sini, Om.
Jawi: Saya ndak kenal mereka, Bung.
Nakir: Bikin nama anak kok malah mirip-mirip. Nggak punya ide orang tua kalian untuk ngasih nama, ya?
Kawi: Dulu, waktu saya masih kecil, nama saya bukan Kawi, Pak. Setelah saya remaja, bapak saya ngeganti nama saya jadi Kawi, Pak. Bapak saya itu terinspirasi dari nama tokoh panutan di negara saya, Pak. Kata bapak saya, tokoh itu orang hebat, Pak. Katanya, dia itu duturunkan Allah ke bumi ini untuk nyelamatin negara kami, Pak. Orang itu sangat mulia, Pak. Orangnya jujur, Pak. Orangnya tulus, Pak. Orangnya ikhlas, Pak. Orangnya ngayomi semua rakyatnya, Pak. Orangnya heba, Pak.
Nakir: Ngomong kok Pok Pak Pok Pak melulu.
Munkar: Kalau kamu? (menunjuk Kiwi)
Kiwi: Nama saya dulu bukan Kiwi, Om. Tapi, karena waktu kecil saya suka nyolong lauk basi di dapur, bapak saya mengganti nama saya jadi Kiwi, Om. Biar saya nggak suka nyolong lauk basi lagi, Om. Bapak saya ngambil nama itu dari nama tokoh di negara saya, Om. Bapak saya bilang, tokoh itu kelas dunia, Om. Bapak saya sangat mengidolakan tokoh itu. Tokoh itu katanya titisan Tuhan, Om.
Nakir: Dasar bodoh. Kiwi itu kan nama hewan di Kutub Selatan. Ngasih nama anak kok dengan nama hewan?
Munkar: Kamu? (menunjuk Jawi)
Jawi: Kalau saya nggak begitu, Bung. Yang ngasih saya nama bukan bapak saya, Bung. Tapi ibu saya, Bung. Dia nyariin saya nama yang mirip-mirip idola dia, Bung. Padahal, dulu nama saya bukan Jawi, Bung. Tapi, supaya ibu saya selalu ingat sama idola dia itu setiap saat sampai di akhirat, dia ganti nama saya jadi Jawi, Bung.
Munkar: Bodoh! Kau tahu tidak, di Sumatera Barat, Jawi itu artinya sapi.
Jawi: Sumatera Barat itu di mana, Bung?
Munkar: Benar-benar pandir kau ini. Sumatera Barat itu di negaramu juga.
Nakir: Kenapa ibumu sangat mengidolakan orang itu?
Jawi: Kata ibu saya, dia punya indra keenam, Bung. Dari penerawangan dia, tokoh itu bukan sembarang manusia, Bung. Juga kata ibu saya, dia sampai jatuh cinta berat sama tokoh itu, Bung.
Nakir: Jatuh cinta?
Jawi: Iya, Bung.
Nakir: Bapakmu masih ada?
Jawi: Masih, Bung.
Nakir: Masih jadi suami ibumu?
Jawi: Masih, Bung.
Nakir: Benar-benar edan ibumu itu. Masih jadi istri bapakmu, dia malah jatuh cinta ke lelaki lain.
Jawi: Ooh, itu ada ceritanya, Bung. Ada story-nya kata orang Inggris. Jadi, kata ibu saya itu begini. Ketika dia sedang hamil mengandung adik saya, dia tiap malam bermimpi dengan idolanya itu, Bung. Bahkan, kata ayahku, ibuku ngidamnya juga aneh. Dia ingin sekali bercinta dengan tokoh itu…
Munkar: Sudah gila itu ibumu!
Jawi: Ah, dia tidak gila kok, Bung. Buktinya, sampai saya mau ikut demo, dia masih normal kok. Sebelum saya berangkat, dia pesan ke saya begini, “Nak. Kalau kamu ketemu dengan idola Ibu itu, jangan lupa nyium telapak kaki dia. Jangan lupa bilang, dulu waktu Ibu hamil adikmu, Ibu tiap hari ngidam bercinta dengan dia. Sampai bapakmu hampir saja ceraiin Ibu.”
Munkar dan Nakir geleng-geleng kepala mendengar jawaban ketiga pemuda itu.
Munkar: Oke! Sekarang saya mau tanya sesuai dengan SOP. Siapa Tuhan kalian?
Kawi: Kata guru agama saya dulu, Pak, Tuhan kita itu sebenarnya Allah. Tapi, menurut saya, Pak… Ini menurut saya lho, Pak. Jadi, Bapak jangan marah dulu ke saya, ya. Saya kan berhak punya pendapat, Pak…
Munkar: (Membentak) Silakan! Apa pendapatmu?
Kawi: (Ketakutan) Nggg… anu, Pak… anu… Menurut saya, tokoh idola saya itu juga pantas jadi tuhan kok…
Belum lagi tuntas Kawi menyelesaikan kalimatnya, Munkar sudah menampar kepalanya. Kawi menjerit lalu mengusap-usap kepalanya sambil meringis-ringis.
Nakir: (Kepada Kiwi) Coba, kamu! Tuhanmu siapa?
Kiwi: Sama ama dia, Om…
Nakir langsung menjinjing telinga Kiwi tinggi-tinggi lalu mengayun-ayunkannya, sehingga badan Kiwi terangkat tinggi sekali dan terayun-ayun. Kiwi menjerit-jerit kesakitan.
Munkar: (Kepada Jawi) Kamu!
Jawi: Pendapat saya jelas nggak sama ama si Kawi, Om. Yang namanya Tuhan itu pasti Allah, Om. Tapi, kadang saya jadi ragu, Om. Kok hidup keluarga saya tetap susah, ya, Om. Tetap miskin, ya, Om. Padahal, saya pernah lihat ayah saya berdoa ke Allah minta jadi orang kaya, Om. Kok dia nggak dikasih kaya juga oleh Allah, Om? Tapi, waktu idola saya itu datang ke kampung saya, kita malah langsung dikasih sembako. Nggak perlu pakai berdoa dan memohon-mohon segala terlebih dulu.
Nakir: Berapa kali ayahmu berdoa?
Kuwi: Setahu saya, sampai umur saya 20 tahun ini, baru dua kali, Om.
Munkar langsung menonjok moncong Jawi sehingga giginya rontok lima biji.
Nakir: Rasul kalian siapa?
Kawi: Lupa, Pak…
Kiwi: Dulu, waktu masih nyantri, saya ingat, Om. Tapi sekarang udah lupa, Om.
Jawi: Kalau saya nggak salah, katanya rasul kita itu Muhammad, ya, Bung?
Tanpa ingin menanyai mereka lagi, Munkar pun memasukkan ketiga anak muda itu ke dalam sebuah kerangkeng yang sempit dan pengap. Mereka pun belingsatan di sana, bagaikan sekeranjang cacing tanah yang sedang dijemur di bawah terik matahari.
Lalu, dengan cara yang sangat simple namun sophisticated, malaikat Munkar dan Nakir memanggil seseorang dari suatu lorong yang sangat gulita. Seketika, datanglah orang itu dengan langkah yang lunglai dan raut wajah yang lesu penuh dengan penyesalan diri. Kemudian, Nakir berkata kepada ketiga anak muda tadi sebagai berikut.
Nakir: Ini dia idola kalian dan orang tua kalian itu. Apa yang ingin kalian sampaikan kepadanya?
Serentak, seperti gerombolan monyet disuguhi kulit pisang busuk, dari dalam kerangkeng itu ketiga anak muda tadi berteriak-teriak kepada orang tersebut:
Kawi: Paak. Paak… Tolong kami, Paak.
Kiwi: Kasihani kami, Paak. Keluarga kami sudah ngidolain Bapak sampai mati, Paak. Kok kami bisa-bisanya dikirim ke tempat pengap gini, Paak…
Jawi: Iya, Paak. Kok kami disiksa begini di sini, Paak? Kok kami dimasukin ke dalam kerangkeng kayak musang habis ketangkap gini, Paak?
Kiwi: Iya, Paak. Salah kami sebenarnya apa, Paaak?
Dengan wajah tertunduk serta suara yang berat orang itu menjawab, “Yaa, ndak tau. Kok nanya saya…”
Jakarta, 22 September 2024
Eddy Yatman merupakan seorang akademisi, pengusaha, dan traveler, tinggal di Jakarta