Oleh : Hasbunallah Haris
Budaya yang baik adalah budaya yang memberi kesempatan pada generasi muda untuk unjuk diri. Demikian yang saya catat saat pameran arsip di galeri Taman Budaya Sumatera Barat beberapa waktu lalu. Catatan singkat tersebut kemudian saya bawa pulang nun jauh ke pedalaman pulau Sumatera yang rimbun dan terjal. Kemudian saya selipkan di dalam sebuah buku notes yang saya beli di warung pinggir jalan sambil sesekali berpikir apakah generasi muda memiliki tempat dalam kebudayaan masa kini? Bukankah sastrawan, pelukis, maestro musik, semuanya hanya diisi oleh orang-orang tua yang membosankan?
Pikiran-pikiran tersebut kemudian saya tutup rapat-rapat dalam sanubari, yang saya lakukan kemudian hanyalah menuliskan beberapa hal yang masih tersisa dari kebudayaan kami (orang Minangkabau) yaitu; rumah gadang beratap bocor, lumbung padi yang kempes, surau lapuk dimakan rayap, dan kincir air yang sudah sansai dan merana. Segala keuzuran tersebut saya rekam dalam catatan perjalanan, berharap kemudian akan timbul beberapa ide dalam benak saya untuk menerbitkan catatan tersebut dan berkontribusi dalam kebudayaan yang saya pandang sebagai laku hidup yang digariskan dari generasi ke generasi.
Dalam tatanan masyarakat Minang, laku dalam budaya haruslah diwariskan turun temurun, falsafah tersebut berlaku dengan ungkapan dari mamak turun ke kemenakan, dan beberapa kalimat lain yang memiliki pemaknaan yang serupa. Saya mencoba mengambil posisi di mana saya berpijak dalam hal kebudayaan ini. Apakah saya sudah mengimplementasikan budaya saya dalam laku keseharian dan menjadikannya kiblat dalam bermasyarakat? Perenungan tersebut saya bawa jauh ke dalam lembaran-lembaran lama tentang penjelajahan samudera dan awal mula Indonesia lintang pukang karena imperialisme dan kolonialisme yang mengurat. Saya membaca catatan lama tentang Colombus yang membawa Spanyol ke Amerika dan menangkapi para Apache untuk dijadikan souvenir di Eropa, saya menelaah berbagai sumber yang menyebutkan tentang kehancuran Malaka di tangan Portugis, pembantaian Banda oleh Belanda, dan serangkaian konflik berdarah lain yang tak kalah kejamnya. Apakah demikian laku manusia, membunuh sesama manusia dan itu disebut sebagai budaya?
Budaya adalah cerminan suatu klan atau komunitas masyarakatnya.
Saya benar-benar sepakat dengan indikasi ini, menyebutkan bahwa budaya adalah manusia dengan alam, keselarasan dengan alam dan mengambil sesuatu dari alam secara wajar dan secukupnya saja. Lantas, apakah Colombus yang menginginkan banyak emas untuk Ferdinand dan Isabella adalah laku budaya? Saat Coen membantai ribuan penduduk Banda, apakah itu juga budaya? Perenungan demi perenungan demikian lama mengusik saya, yang semula hanya sebuah riak kecil berubah menjadi besar dan menggelembung, nyaris menciptakan badai.
Dalam kurun waktu sekarang, saya tersentak untuk ikut dalam arus kebudayaan tersebut, saya ingin tampil dan menyorakkan bahwa pelaut Indonesia (Nusantara) di masa silam adalah yang terbaik, saya juga ingin menyebut nenek moyang saya bukanlah bangsa penjajah yang rakus terhadap tanah bangsa lain, saya ingin dunia mengetahui semua itu. Semuanya saya mulai dari memotret lanskap rumah gadang tiris dan kincir air yang sudah rumpang dan berlumut, yang keluar dari sistem kebudayaan kami masyarakat Minang. Saya mencoba menuliskan apa yang hilang tersebut dalam beberapa narasi dan melakukan publikasi. Orang-orang tua yang semula saya anggap tak memberi ruang pada jalan ini tiba-tiba membukakan pintu terhadap kegiatan saya, mereka tentu saja menepuk bahu saya sambil berkata, “Kebudayaan tidak akan pernah mati. Lanjutkan!”
Dalam perjalanan mengenalkan dan belajar mengenai budaya, saya merasa terombang-ambing dalam arus yang demikian besar, ke mana arah arus yang benar dan bersih sehingga saya dapat melihat mata air jernih yang dapat saya jadikan sebagai pelepas dahaga? Saya susuri pendapat demi pendapat, para sastrawan menyebut budaya adalah apa yang terekam lewat tulisan dan tuturan, para seniman menyebut budaya adalah apa yang ditinggalkan di ujung-ujung kanvas dan berusaha untuk memenjarakan waktu lewat sebuah lukisan, para pemahat tidak demikian bagi mereka, budaya dalam pikiran mereka adalah bentuk, bukan sekedar metode atau teoritis belaka, mereka mewujudkannya dalam bentuk dimensi yang dapat diraba, dikelilingi, diceritakan, dan disebut-sebut.
Sementara saya terus mengikuti aliran budaya hingga ke pangkalnya, yang kemudian saya sebut sebagai budaya sejak dalam sanubari, sebagai bentuk budaya paling murni yang berisi gagasan, toleransi, dan pembaharuan tanpa menghilangkan unsur orisinilitas dalam sebuah warisan. Itulah yang kemudian oleh Toeti Heraty di sebut sebagai ‘Aku dalam Budaya.’ Sebuah pemikiran tentang subjek dan objek, yang dalam filsafat di sebut sebagai filsafat idealism dan materialism. Sebuah konsep baru yang ditawarkan untuk berpartisipasi dalam kebudayaan demi menjaganya agar tetap utuh dan konkret.
Sepanjang hidupnya, Toeti telah membuka tabir budaya dan menciptakan ruang gerak baru dalam berbudaya. Jika dulu budaya kerap dianggap sebagai refkeksi dan hiburan bagi budaya semata tanpa melibatkan orang luar (non budayais), kini konsep tersebut disimpangkan menjadi laku dalam masyarakat yang meliputi segala aspek. Kata ‘Aku’ yang dipakai Toeti bermakna kedekatan agar seluruh orang terlibat dan merasa atas kepemilikan, karena nyatanya memang demikian. Dan ‘dalam Budaya’ diartikan sebagai laku atau tindak-tanduk dan respon terhadap apa yang terjadi dan diajarkan dari generasi terdahulu. Meskipun budaya tersebut dinamis dan terus bergerak, namun tidak akan sanggup untuk menggeser makna aslinya yang sudah tercetus.
Saya tak ubahnya hanya macam katak di bawah tempurung saja, atau bahkan hanya kecebong tanpa kaki yang berusaha keluar dari sistem dan membentuk sebuah gebrakan baru yang benar-benar relevan dengan generasi yang sezaman dengan saya kini. Kesempatan-kesempatan tampil bagi generasi muda dalam ruang lingkup budaya sudah tercantum seluruhnya dalam sepenggal kata ‘Aku’ yang dicetuskan Toeti. ‘Aku’ berarti seluruh manusia di dalamnya, seluruh lapisan masyarakat karena budaya tidak mengenal lapisan mana yang lebih mengenalnya atau lebih dulu berbuat untuknya. Budaya dalam pengertian Toeti adalah sebuah ajaran, tuturan, dan laku yang mesti diteruskan dalam segala zaman, anak-anak muda pun turut menjadi objek dari kalimat tersebut.
Potret rumah gadang lapuk yang kita runutkan di awal adalah turunan dari pengertian sebenarnya dalam budaya. Demikian pula dengan kincir yang sudah langka (bahkan nyaris tidak ditemukan lagi zaman ini) sebab konsep Toeti; “Segala turunan yang sudah ditinggalkan dan tidak terpakai lagi, akan bertransformasi ke dalam bentuk yang sama di zaman yang berbeda.” Dan itu terbukti, meski sangat sulit menemukan kincir yang biasa dipakai seperti fungsinya dulu, kehadiran kincir air tak serta merta hilang, zaman digitalisasi telah mengambil alih dan menjadikannya sebuah bentuk lain yang sama namun berbeda. Jika dulu kincir air difungsikan sebagai alat bantu untuk menumbuk padi, kini kincir dipakai untuk alat peraga pertunjukan, bahkan dewasa ini dibuat dengan ukuran mini dan dipadukan dengan alunan suara lain yang kemudian menjelma sebuah musik baru dengan konsep budaya urban.
Sedangkan rumah gadang yang tiris, menjadi potret yang sangat bagus sebagai kritikan terhadap zaman yang makin edan, kemudian mencetuskan sebuah ide baru tentang konsep rumah gadang yang tak hanya sebagai hunian, namun bertransformasi menjadi objek kajian, tempat wisata, dan sekaligus sebagai museum. Peralihan fungsi tersebut tentu saja tak mengubah makna aslinya, namun zaman telah memberikan simpang baru terhadap satu bentuk budaya yang masyarakat menyatu, hidup, dan berkembang di dalamnya.
Dalam sejarah pun demikian, ‘Aku dalam Budaya’ menemukan corak baru dan terus berkembang menjadi satu kesatuan utuh. Catatan-catatan lama yang ditemukan terus dipelajari dan event-event pun dinyalakan. Sebut saja; Festival Jalur Rempah, Muhibah Jalur Rempah, Kenduri Sko Swarnabhumi, Festival Pamalayu, dan serangkaian lainnya yang bertapak dalam kata yang dicetuskan oleh Toeti dan selaras dengan alam.
Dalam aspek surau pun demikian, fungsi surau yang dulu dipakai untuk tempat mengaji, bertukar pikiran, berlatih silat, serta tempat sosialisasi anak-anak muda (karena anak muda laki-laki Minang tidur di surau) kini beralih menjadi tempat diskusi yang diformatkan ke dalam bentuk kafe dan disediakan secara cuma-cuma. Apakah kemudian budaya lama dapat di sebut hilang? Tentu saja tidak. Peralihan fungsi tersebut justru membuka ruang gerak baru dan emnciptakan gelora yang tak kalah jauhnya dari zaman terdahulu, dengan tetap mempertahankan eksistensinya dengan makna yang utuh. Laki-laki Minang tetap menyukai surau tanpa terpengaruh dengan gawai, laki-laki Minang tetap berpikiran layaknya lelaki Minang dahulu namun dalam dunia baru yang sudah berubah. Aku dalam Budaya mencetuskan gerakan ini dengan segala dinamika di dalamnya.
Lalu persoalan lumbung yang kini sudah jarang, era Padri lumbung sudah dibakar dan zaman kian maju, orang-orang tak lagi menyimpan padi di lumbung karena penjagaan yang lemah dan kriminalitas yang kian tajam. Lumbung hanya difungsikan sebagai sakralisme semata, namun ide dan nuansa luhurnya masih tetap terawat hingga kini. Konsep lumbung masih terus diupayakan dengan berupa tabungan dengan konsep lumbung (membaginya ke dalam beberapa kebutuhan seperti pokok, primer, dan sekunder, lalu tersier) pengelompokan kauangan seperti ini adalah adopsi dari konsep lumbung yang dulu dapat diraba dan di saksikan dengan panca indra.
Secara tak langsung, Toeti sudah menyalakan kembali sinar keredupan budaya lewat tulisan dan ide-idenya yang brilian. Kalimat yang dia sampaikan dan tuturan yang keluar menjadi konsep diupayakan untuk dapat dipadukan dengan budaya lokal dalam klan atau suku apapun di sluruh Indonesia. Konsep yang Toeti usung telah menjadi suluh bagi generasi muda dan terlibat langsung dalam kebudayaan. Melalui gerak, gaung, dan gelora, digitalisasi memiliki peran penting untuk merawat itu semua, dengan anak-anak muda sebagai objeknya. Budaya yang maju adalah budaya yang terus bertransformasi tanpa mengubah orisinil ide terdahulu tentang laku yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi. Atas dasar inilah pemikiran Toeti cocok dengan banyak percontohan (terutama Minang dengan seluruh dinamika di dalamnya) laku tersebut kemudian menjadi rajut yang melekatkan dan bersama membentuk suatu gerakan baru yang di sebut sebagai budaya yang relevan, bersih, dan terawat.
Terakhir, Toeti dalam pikirannya menurut hemat saya juga sudah jauh menggagas idenya dan melakukan filtrasi terhadap aspek-aspek yang dapat memajukan dan memundurkan suatu kebudayaan. Kata ‘aku’ akan selalu menjadi milik bersama karena di dalamnya selalu ada orang-orang yang mengisi kebudayaan tersebut. Demikian gelora yang Toeti idam-idamkan.