Bahasa Arab Bangsa Alien

Oleh : Eddy Yatman

Beberapa waktu yang lalu, saya menulis sebuah artikel keagamaan di sebuah media. Ternyata, banyak kosakata saya yang mendapat protes atau sorotan dari pembaca. Ada yang disampaikan secara halus, juga ada yang kasar. Bahkan merendahkan. Seperti seorang “penyerang” yang bernama Profesor Udin ini.

“Hei! Anda itu kalau mau menulis artikel, harus banyak belajar dulu. Banyak membaca. Jangan main tulis saja secara serampangan,” ujarnya.

“Tapi, tulisan saya dimuat oleh media, Pak. Berarti, sudah masuk kriteria dan lolos editing, dong?” jawab saya.

“Jangan bangga dulu kau. Siapa tahu redakturnya emak kau, atau engkong kau,” balasnya. Kalau tadi dia ber-Anda ke saya, sekarang ber-kau.

“Boleh saya tahu kenapa Bapak menyuruh saya banyak belajar?”

“Karena istilah-istilah yang kaupakai sangat asing di tenggorokanku.”

“Kok di tenggorokan?”

“Oh iya. Di telingaku!”

“Apakah artikel saya itu mengeluarkan bunyi, Pak?”

“Maksud saya, istilah yang kaupakai banyak yang aneh. Tidak lazim.”

“Contohnya, Pak?”

“Misalnya salat, istikamah, istikharah, umrah, qada, daif, tagut, Ramadan. Bahasa makhluk dari mana itu?”

“Menurut saya, Bapak yang harus banyak belajar,” jawab saya. “Bapak harus sering membuka KBBI. Di sana Bapak bisa melihat kata-kata mana saja yang baku dan mana saja yang tidak. Bahkan aplikasi KBBI itu bisa Bapak install di HP Bapak.”

“Binatang apa itu KBBI? Sejenis musang atau apa?” ujarnya dengan mamburansang.

“Pak. KBBI itu singkatan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kalau seseorang ingin jadi penulis berkelas, dia mesti sering membuka KBBI.”

“Hei, manusia dungu! Sebelum si Kamus itu lahir, saya sudah lahir. Untuk apa saya belajar ke dia!”

“Itu bukan nama orang, Pak.”

“Iya. Saya tahu. Tapi, untuk apa saya harus sering buka kamus? Saya ini sudah 25 tahun jadi profesor. Doktor saya ada lima.”

“Seperti balon dong, Pak? Rupa-rupa warnanya…”

“Jangan bercanda kau. Salah satu disertasi saya di bidang Bahasa Arab. Makanya saya tahu kesalahan-kesalahan kau.”

“Jadi, istilah-istilah saya tadi itu salah, ya, Pak?”

“Jelas salah. Oleh karena itu, selain banyak belajar bahasa Indonesia, kau juga harus banyak belajar bahasa Arab.”

“Dari istilah-istilah saya yang Bapak sebutkan tadi, yang benarnya bagaimana?”

“Untuk kau ketahui, Buyung. Di mana-mana dan kapan saja, yang benarnya itu adalah: solat, istiqomah, istikhoroh, umroh, qodho, dhoif, thoghut, Romadhon. Jadi, baik penulisan maupun pengucapannya, harus kita dekatkan sedekat-dekatnya ke bahasa asalnya.”

“Pak. Sudah 79 tahun negara kita merdeka, kita belum juga dewasa dalam berbahasa…”

“Belum dewasa bagaimana? Hei! Kamu jangan menganggap saya ini anak kecil, ya. Saya ini sudah sangat dewasa. Sebelum ibu kau melahirkan kau, saya ini sudah lahir.”

“Kalau begitu, oke deh. Tapi, kita harus konsisten lho, Pak. Bapak bersedia saya ajak konsisten?”

“Hei, Buyung Bingung! Saya ini orang yang paling resisten…”

“Konsisten, Pak…”

“Oh iya. Konsisten. Saya ini orang yang paling konsisten sejak lahir.”

“Oke, Pak. Tapi, saya minta kita setop dulu pembicaraan kita. Saya mau menulis surat untuk Bapak dengan gaya penulisan yang Bapak sarankan itu. Setelah itu bisa Bapak balas.”

“Eko! Eko! Eh… kok eko eko, ya? Maksud saya: Oke! Oke!”

***

Tak lama kemudian, saya mengirim surat itu kepada Profesor Udin, juga lewat WA, yang isinya seperti berikut.

***

Karena rajin bershodaqoh, saya diberi Alloh hadiah untuk mampu berangkat umroh. Walaupun pada haqiqotnya tidak tersirot keinginan buru-buru melaksanakannya, setelah bermusyawaroh dengan qorobat aqrob saya yang bernama Thohir, kami putuskan berangkat di awal Romadhon tahun ini, di hari Khomis.

Awalnya, saya taqut berumroh di bulan Romadhon karena kita harus bershoum. Tapi, dengan teqod yang quat, kami tetap berangkat. Karena, aqol shaihat saya mengatakan bahwa shoum tak bisa menghalangi saya untuk berangkat. Toh selama ini saya rajin shoum Itsnin-Khomis. Inilah yang membuat saya yaqin.

Menjelang berangkat, kami diberi ceramah oleh penashihat umroh. Dia katakan bahwa di jaziroh Arob tidak hanya ada negara Arob Saudi, tapi juga Uni Emirot Arob, Qothor, Bahroin, Iroq, Iron, dan lain-lain. Mendengar kaya dan makmurnya negara-negara itu, ingin sekali saya hijroh ke sana.

Sesampai di tanah Arob, kami terhairon-hairon. Soalnya, di sana berseliweran mobil-mobil sulthon. Bukan bermaqsud ria, kami pun berselfi sepuas-puasnya. Tapi, sohabat saya tadi agak taqobur. Dia berselfi sampai telentang, telungkup, dan sebagainya di atas unta.

Karena shohabat saya itu makhluq yang suroqoh, dia tidak mau berbagi dengan saya. Sudah satu jam lebih saya bershobar menunggu, dia tidak mau juga turun dari punuk unta itu. Tentu saja keshobaran saya habis.

Aqibatnya, saya berikror untuk memberi dia pelajaran. Saya tendang pantat unta itu sequat-quatnya. Unta itu maroh dan meronta. Qodarulloh, sohabat saya itu terjatuh. Saya tertawa terpingkal-pingkal melihat mulutnya qomat-qomit menahan saqit. Saya yaqin, sa’at itu dia sedang menahan amaroh besar kepada saya.

Demikian dulu surat saya dari jaziroh Arob sebagai muqoddimah dari korespondensi kita yang insya Alloh akan berkelanjutan, karena sekarang saya mau istirohat dulu. Kebetulan, besok sudah masuk hari Jumu’ah. Sehabis sholat Jumu’ah, kami mau ke maqom Ibrohim. Setelah itu baru kami ke Madinah, melihat roudhoh dan maqom shohabat Rosululloh, tempat Abu Bakar dan Umar bin Khotthob diqubur. Saya akan berdu’a agar saya bisa bertemu beliau-beliau itu di akhirot. Untung di sini sholat bisa saya qodho, sehingga saya tidak perlu repot. Insya Alloh, di lain waqtu saya akan mengirimkan khobar lagi.

Walaupun saya ini ro’yat kecil yang dho’if dan tidak berasal dari qoum bangsawan, jika saya punya rizqi, saya ingin mengajak Bapak berumroh juga sebelum qiamat tiba. Atau kalau perlu kita hijroh sekalian ke jaziroh Arob itu. Apakah Bapak bersedia?

***

Tiga bulan lamanya, surat itu tak dibalasnya. Namun, di suatu pagi, handphone saya berbunyi. Ada WA message dari beliau, sebagai balasan surat saya, seperti berikut.

“Hei, Buyung Kapundung. Gara-gara membaca surat kau itu saya masuk rumah sakit selama tiga bulan…”

“Lho, ada apa dengan surat saya itu, Pak?” balas saya.

“Hei! Jangan pura-pura pandir waang, ya. Setelah membaca surat waang tu, tensi darah den naiak sampai ke puncak toga den. Dan muncung den tamonyong-monyong sapanjang hari.”

“Ooh, begitu, ya, Pak. Maafkan saya…”

“Tidak ada maaf bagiku… eh, salah. Tidak ada maaf bagi waang!!!”

“Ngomong-ngomong, Bapak orang Minang, ya?”

“Tidak!”

“Jadi, Bapak dari mana?”

“Dari alien!!!”

Jakarta, 17 Agustus 2024

Eddy Yatman merupakan seorang akademisi, pengusaha, dan traveler, tinggal di Jakarta

Pos terkait