Oleh : Alfian YN
Didaerahku, sebut saja kota kecil berhawa sejuk beberapa tahun terakhir setiap kali penerimaan peserta didik baru (PPDB) sekolah menengah atas/ kejujuran (SMA/K) terjadi kisruh.
Mulai dari persoalan zonasi, tidak tertampungnya siswa, sampai dengan usulan penambahan ruang kelas baru (RKB).
Kekisruhan itu kemudian direspon kepala pemerintahan dan pimpinan DPRD setempat dengan mendatangi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan provinsi yang antara lain mendesak ditambahnya kuota siswa baru dan RKB.
Bahkan tahun lalu kepala pemerintahan dan pimpinan DPRD setempat bersama-sama mendatangi gubernur guna melaporkan problem yang sama.
Penulis sebagai warga jelas bangga dengan upaya yang dilakukan pemerintah dan DPRD setempat yang memperjuangkan nasib tunas-tunas daerah agar bisa melanjutkan sekolah ke jenjang menengah.
Namun, sepertinya perhatian pemerintah dan DPRD setempat itu belum tampak maksimal bagi keberlanjutan pendidikan anak-anak penyandang disabilitas yang terdiri dari beragam jenis untuk bisa sekolah, bahkan ada yang tidak bersekolah.
Mengutip wikipedia yang dimaksud disabilitas adalah keterbatasan pada tubuh maupun pikiran (impairment) yang menyebabkan pengidapnya kesulitan atau mengalami keterbatasan dalam melakukan aktivitas (activity limitation) atau berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya (participation restrictions).
Sebutan lain yang melekat dengan disabilitas selain penyandang cacat adalah kelompok berkebutuhan khusus dan penyandang ketunaan.
Sedangkan penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Suatu waktu pada tahun lalu penulis pernah menyampaikan satu usulan kepada kepala daerah setempat, bagaimana jika di kota ini didirikan sebuah lembaga pendidikan disabilitas gratis yang nantinya bisa menampung anak-anak penyandang disabilitas khususnya yang ada di dalam daerah.
Pengadaan lahannya mungkin bisa diusulkan melalui APBD dan bangunannya melalui APBN.
Saat itu kepala daerah sepertinya mengaminkan usulan penulis, namun sampai berakhirnya masa jabatan kepala daerah dimaksud tidak ada kejelasan tindak lanjutnya.
Penulis tetap berpikir positif mungkin usulan itu masih belum prioritas untuk dibahas dan/atau mungkin usulan itu kurang populer.
Terlepas dari hal demikian, menjadikan sebuah kota sebagai kota tujuan pendidikan mungkin cita-cita setiap pemerintah daerah. Bahkan ada juga daerah yang memang sudah jadi tujuan pendidikan sejak dari dulunya.
Namun, pernahkah terbersit oleh pemerintah kota dan DPRD setempat menjadikan kotanya sebagai kota tujuan pendidikan disabilitas? Entahlah!
Yang pasti di tengah PPDB SMA/K yang kisruh itu, ternyata ada anak disabilitas yang tidak bersekolah.
Akankah problem demikian akan jadi perhatian juga oleh pemerintah dan DPRD setempat. Kita tunggu!
Penulis merupakan jurnalis Topsumbar.co.id dan orang tua dari anak disabilitas tidak bersekolah