TOPSUMBAR – Nagari Maek yang berada di Kabupaten Lima Puluh Kota dikenal memiliki situs budaya berupa Menhir yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
Berbagai penelitian telah dilakukan oleh arkeolog dalam maupun luar negeri, namun hasilnya masih belum banyak terpublikasi secara detail.
Akibatnya, situs Menhir yang berada di Nagari Maek ini masih kurang diminati oleh wisatawan.
Melihat kondisi tersebut, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Barat (DPRD Sumbar), Supardi, berupaya membangkitkan kembali situs bersejarah ini melalui Program Pokirnya dengan menggandeng Dinas Kebudayaan Sumatera Barat.
Salah satu inisiatifnya adalah menggelar “Festival Maek”, yang merupakan mimpi lama yang akhirnya terwujud.
“Berbagai kegiatan pembenahan infrastruktur menhir di Maek terus dilakukan secara bertahap,” ujar Supardi dalam konferensi pers Sosialisasi Festival Maek pada Selasa, 9 Juli 2024 di Ruang Khusus I DPRD Sumbar.
Didampingi oleh Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumbar, Jefrinal Arifin, Ketua Festival Maek Donny Eros Djarot, dan Kabag Persidangan dan Perundang-undangan DPRD Sumbar Zardi Syahrir, Supardi mengakui bahwa Situs Maek masih kurang menarik bagi para wisatawan.
“Memang, situs ini masih kurang diminati oleh para wisatawan. Padahal, banyak misteri tersimpan di Maek yang harus diungkap. Ini sangat penting bagi perkembangan peradaban ke depan,” tambahnya.
Supardi juga menyatakan bahwa UNESCO telah menunjukkan minatnya pada Situs Maek, termasuk penelitian mengenai usia tengkorak yang ada di Maek.
“Kita bertekad, persoalan Maek ini mesti di-follow up, termasuk melibatkan UNESCO dan BRIN. Penelitian harus dilakukan untuk mengetahui usia tengkorak tersebut, termasuk DNA-nya. Semoga hasilnya bisa keluar dalam waktu dekat. Data yang ada menunjukkan peradaban di Maek sudah ada sejak 4000 tahun sebelum Masehi,” jelas Supardi.
Dari penelitian Universitas Negeri Padang (UNP) di Maek, ditemukan adanya perahu besar yang menunjukkan bahwa dulunya Maek bukanlah sungai, melainkan sebuah pulau di lautan.
Supardi juga mengungkapkan bahwa pada tahun 2005 lalu telah dilakukan eskavasi bersama BRIN di Maek dan Guguk, dan ditemukan tiga tengkorak yang berasal dari abad pertama sebelum Masehi.
“Pada tahun 2005 lalu, eskavasi kita bersama BRIN di Maek dan Guguk, ditemukan 3 tengkorak yang ternyata sudah ada sejak abad pertama sebelum masehi. Bahkan, makam yang ada di Guguak itu ternyata menghadap ke kiblat dan punya liang lahat,” ungkapnya.
“Ini menunjukkan adanya peradaban besar di Maek yang menjadi potensi besar pariwisata,” tambahnya.
Supardi menekankan pentingnya mengangkat budaya Sumbar untuk membangkitkan pariwisatanya, seperti yang dilakukan Yogyakarta dan Bali.
“Sumbar harus bangkit pariwisatanya. Sama halnya dengan Jogjakarta dan Bali, mereka tidak lagi menjual lautnya, namun budayanya. Maek memiliki peluang besar untuk memperkenalkan Sumbar di pentas dunia,” ujarnya.
Festival Maek diharapkan dapat membuka cakrawala semua pihak terhadap potensi besar yang ada di Maek.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, Jefrinal Arifin menyampaikan bahwa Festival Maek akan berlangsung pada 17-20 Juli 2024, dengan pra-festival dan workshop kekaryaan pada 14-17 Juli 2024.
Workshop ini akan melibatkan kolaborasi dengan anak-anak Maek yang dibimbing oleh Direktur Festival Donny Eros Djarot, serta komposer dari Jerman dan Indonesia.
Selain itu, akan ada residensi empat seniman dan berbagai lomba seperti feature, foto essay, dan video yang diambil selama festival.
Pameran akan digelar pada 14-17 Juli bekerja sama dengan Balai Pelestarian Budaya, serta diskusi pada 13-16 Juli di Cafe Agamjua Payakumbuh dengan pembicara dari Jepang, Mesir, dan Indonesia.
Festival juga akan menampilkan pertunjukan kolaborasi anak-anak seniman residensi serta potensi pengembangan wisata di Maek.
“Umpan balik dari festival ini akan menjadi masukan untuk pengembangan Maek ke depan, khususnya pariwisata budaya,” pungkas Jefrinal.
(HT)