Oleh : Eddy Yatman
Karena saya tergolong orang zaman tempo doeloe, saya pertama kali merasakan diwisuda ketika saya lulus dari kuliah, saat saya jadi sarjana. Ketika itu umur saya 24 tahun.
Tapi kini, setidaknya dalam dua dekade terakhir, anak balita pun sudah merasakan ingar-bingarnya pesta kelulusan itu. Setiap acara itu pasti menyertakan toga, berupa topi lebar yang dipasang di kepala serta jubah panjang yang munutupi badan. Juga jambul dan kain selempang.
Mengapa mesti memakai toga? Saya tidak tahu. Padahal, menurut Wikipedia, di zaman dulu toga hanya pakaian sehari-hari yang dikenakan orang-orang Romawi kuno sebagai penghangat tubuh di musim dingin. Kemudian, setelah abad ke-2 SM, toga bergeser fungsi menjadi busana khusus untuk kaum pria. Namun hanya orang-orang Romawi yang diizinkan mengenakannya.
Tapi, ada juga sejarawan yang mengatakan bahwa toga awalnya digunakan oleh kaum pribumi di Italia pada tahun 1200 Sebelum Masehi. Jadi, yang manakah yang benar? Tentu ahli sejarahlah yang lebih paham.
Seiring dengan perjalanan waktu, toga lalu ditradisikan untuk dipakai wisudawan yang dilantik, sebagai simbol kelulusan mereka dari perguruan tinggi. Tradisi ini dimulai oleh orang Inggris, di abad ke-12. Kemudian, di abad ke-18, penggunaannya berkembang lebih jauh. Ia tak hanya digunakan oleh wisudawan sebagai tanda kelulusan, tapi juga simbol intelektualitas. Sehingga, sejak saat ini toga identik dengan kaum akademisi, yang bergelar doktor atau profesor alias guru besar.
Penyimbolan ini ternyata membuahkan hasil. Sebab, di mata awam, mereka yang kerap bertoga-ria ini dapat label dan rekognisi sebagai orang berkasta khusus. Mereka diakui sebagai kaum intelektual yang berpikir ilmiah, bersikap ilmiah, dan berpandangan ilmiah. Apa yang mereka tulis, apa yang mereka sampaikan, akan menjadi sebuah kebenaran.
Di kampus, atau di medan seminar, honor mereka pasti lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya, sebagian dari mereka cenderung arogan, terutama saat tubuh mereka dililit toga itu. Saat bertemu dengan saya, umpamanya, mereka berusaha “jaim”: berbicara seperlunya, tersenyum secukupnya. Saya maklum. Tapi, ketika atribut itu mereka copot, saya pun berani kembali melempar canda dan “cimeeh” kepada mereka.
Kendati demikian, saya tak tahu apakah bersin atau tersedak juga mereka lakukan secara ilmiah. Begitu pula korupsi, berbuat cabul, atau memanipulasi hukum dan regulasi.
Alih-alih berpikir ilmiah, mereka berlomba-lomba dan berjemaah menghambakan diri seikhlas mungkin untuk mengakomodasi titah-titah tuan mereka, yang level keilmiahannya mungkin setara dengan murid-murid mereka yang paling tengil.
Sayangnya, belakangan ini, entah siapa yang memulai, siapa yang menfatwakan, dan di mana pertama kali difardukan, lulusan TK, SD, SMP, dan SMA diharuskan pula memakai toga di event kelulusan, meski toga mereka tak sesakral milik kaum ilmuwan. Bahkan, toga mereka itu bisa berwarna-warni, tak seperti milik para guru besar tadi, yang selalu hitam.
Mengapa mereka harus bertoga? Saya tak tahu. Karena saya bukan peneliti. Tapi, menurut dugaan saya, itu untuk membuat mereka gembira, dan juga sebagai awareness.
Awareness? Iya. Mari kita kulik. Lazimnya, wisuda itu tak pernah atau jarang dilakukan di sekolah. Tiap sekolah pasti mencari gedung yang bagus dan bonafide untuk dijadikan lokasi. Contohnya wisuda yang saya hadiri Sabtu, 8 Juni 2024, kemarin. Ini adalah pesta kelulusan siswa-siswa SD, SMP, dan SMA dari sebuah perguruan yang cukup elite bernama Sekolah Quran Asy Syahid, Ciangsana, Bogor.
Di sini, saya perhatikan, awareness itu memang tercipta. Sebab, orang-orang gedung tersebut mulai aware terhadap sekolah itu. Dari spanduk-spanduk yang ditempel sejak beberapa hari sebelum acara, misalnya, orang yang lalu lalang di gedung itu mulai mengenal nama sekolah tersebut. Lalu, disengaja atau tidak, dari orang ke orang terjadilah mouth to mouth promotion. Bagi gedung yang dipakai, hal yang sama pun terjadi. Sehingga, terjadilah sebuah bisnis yang mutualistis.
Hanya itu? Tidak. Efek domino dan manfaatnya pasti banyak, bahkan terkadang tak terduga. Oleh emak-emak, acara ini bisa menjadi media promosi anak masing-masing. Sehingga, terkadang kongko-kongko ini berujung pada ajang cari mantu.
Manfaat lainnya adalah untuk bertukar informasi. Karena acara ini juga berfungsi sebagai ajang silaturahmi, terjadilah pertukaran informasi di kalangan orang tua. Ya, tentang profesi, bisnis, bahkan passion mereka. Seperti yang saya alami. Ada yang bertanya kenapa anak saya yang diwisuda ini tubuhnya jauh lebih tinggi dari saya, istri saya, dan kakaknya. Padahal, umurnya baru 14 tahun dan dia baru lulus dari SMP.
Untuk memberi jawaban yang pasti, saya tak berani. Karena, hal itu adalah given dan otoritas dari Sang Maha-Kreator, yakni Allah Subhanahu wata’ala.
Tapi, ketika dia tanya soal nutrisi yang saya berikan, baru saya bisa jawab. Sejak si bungsu ini berumur 10 tahun, dia rutin saya beri nutrisi penambah kekuatan otot dan tulang, bernama OTULGRO. Dan hasilnya, ya, seperti terlihat di foto ini: pertambahan tingginya lebih maksimal.
Ingin tahu lebih jauh produk ini? Bisa dilihat di akun IG @otulgroofficial. Eh, kok saya jadi berpromosi di sini, ya? Tapi, nggak apa-apa, tho?
Jakarta, 10 Juni 2024
Eddy Yatman merupakan seorang akademisi, pengusaha, dan traveler, tinggal di Jakarta