Oleh : Hasbunallah Haris
Halimun masih tebal saat saya dan Rais “meracak” vario hitam yang baru lunas dan menggebahnya menuju sebuah perkampungan nun jauh di pedalaman Sumatera, Kabupaten 50 Kota. Jalan lengang itu masih lembab karena semalam diguyur hujan, pertengahan Juni hujan memang sedang menjadi-jadi, pantas saja Sapardi demikian terobsesi dengan hujan di bulan Juni. Kami kira perjalanan kali ini akan cukup menyenangkan seperti saat menjelajah Dharmasraya beberapa bulan lalu dan menggali cerita tentang candi Awang Maombiak. Nagari Maek yang hendak kami tuju terdengar nyentrik meski tetap saja nama itu masih asing di telinga.
Ternyata kami datang di bulan yang salah, hujan kembali turun sejak Padang Panjang sampai kota Payakumbuh, mantel plastik teletubis yang kami beli di lepau pinggir jalan tak lagi menjadi barang yang dapat menolong, kami memutuskan berhenti di salah satu kafetaria di sudut kota Payakumbuh dan memesan kopi panas. Sebungkus rokok gudang garam hitam tanpa filter “maestro edition” keluar dari saku; kopi, rokok, dan kisah legend tentang kuburan dari zaman batu besar memang terdengar sangat menggiurkan. Kami hanyut dalam percakapan mana yang harus didatangi terlebih dahulu, situs yang ada di Balai Batu atau situs Bawah Parit.
Waiter mengantarkan kopi pesanan kami sambil sedikit berbasa-basi, perempuan bertubuh sintal dengan celemek yang menggantung di leher itu bertanya kami hendak ke mana, saat saya menyebutkan nama Maek, dia langsung mengangguk dan berkata kampung tersebut masih 40 kilo lagi dari lokasi kafe. 40 kilo lagi? Bagaimana jika hujan tak kunjung reda hingga larut malam, Nona?
“Gas saja sanak, kita harus sampai Padang malam nanti, besok ada jadwal kuliah pagi.” Rais berkata, rokok dan mancis kembali disakukannya ke dalam celana jeans yang sudah lembab.
Saya mengangguk. Kami kembali membelah hujan, sedikit berharap saat sampai di Maek nanti hujan sudah berbaik hati membiarkan kami menjelajah kawasan kuburan yang luas itu. Sejak membaca pertama kali tentang “Maek Nagari 1000 Menhir”, saya tiba-tiba menjadi orang yang keranjingan Maek dan fanatik pada istilah “menhir”, bahkan saat kawan-kawan saya sudah mengecek langsung dan menceritakan tentang batu-batu purba itu, saya masih tetap bungkam karena belum sempat ke sana.
“Lihatlah ke Maek sana, ribuan batu mejan sebesar kepala kerbau terpancang sejak zaman megalit, bahkan semuanya menghadap tepat ke Gunung Sago, kawasan itu memang sudah menjadi kuburan purba,” kata Alvi mengisahkan pada saya beberapa bulan silam, dia memang orang yang berapi-api kalau soal asal-usul.
Kota Payakumbuh akhirnya tertinggal di belakang, kami masuk ke Kabupaten 50 Kota saat rinai-rinai masih berjatuhan di jalanan dan membasuh pucuk-pucuk mempelam dan durian rimba. Kabupaten dengan luhak paling bungsu itu menyambut kedatangan kami dengan kesenduannya; rinai dan halimun yang turun melingkupi lereng Bukit Barisan yang menjulang. Apakah pemandangan indah ini masih kami dapatkan jika datang di bulan lain? Entahlah.
Jalanan yang kami tempuh lengang, rumah penduduk hanya ada berkelompok-kelompok, memusat di dekat bangunan sekolah SD atau masjid dan surau-surau lama, kiri kanan hanya ditumbuhi tanaman bambu dan belukar, semak pimping dan beberapa pohon sengon tua yang mulai berpucuk hijau. Kami akhirnya berhenti di sebuah lepau dan bertanya ke mana arah situs Bawah Parit setelah beberapa kali Rais mengumpat ponselnya kehilangan sinyal.
“Ibuk itu bilang tinggal lurus saja,” kataku kembali naik di belakang. “Tidak jauh lagi kok.”
Hujan sudah sempurna reda saat kami melihat plang besi berkarat bertulisan: CAGAR BUDAYA MENHIR BAWAH PARIT. Kami masuk setelah menambah satu lapis jaket lagi karena hoodie katun ternyata tidak terlalu kuat menahan dingin. Sedang nun di bawah sana, batang Maek mengalir deras seperti batang bangko yang ada di Muara Labuh. Orang bilang, menhir-menhir yang ada di sini sama seperti menhir yang ada di Irlandia, Inggris dan Prancis, batu-batu besar tersebut juga diangkut ke atas perbukitan ini setelah dipahat di bawah, di aliran batang Maek.
Saya akhirnya dapat menyaksikan pemandangan unik dan meraba sendiri bagaimana motif pahatan yang ada di batu-batu yang menjulang menghadap tepat ke Gunung Sago itu. Saya saksikan motif kaluak paku, pucuak rabuang, dan kuciang lalok. Sayangnya menhir yang ada di situs Bawah Parit tak terlalu banyak yang bermotif, itu menandakan usia batu-batu tersebut sudah sangat tua. Jika ada yang berukir, berarti kemungkinannya hanya ada dua; pertama menandakan status sosial, dan kedua usia batunya lumayan muda karena masa itu orang-orang sudah pandai mengukir batu.
“Ini kuburan? Serius?” Rais seakan menyesal karena saya mengajaknya hanya untuk melihat hamparan luas yang berisi batu-batu berdiri.
“Iya, kuburan purba.”
Dia seperti mengumpat, namun saya membiarkanya begitu. Memang apa yang salah jika berwisata ke kuburan, Rais? Dari video-video yang kutonton, menhir yang ada di sini diperkiran sudah ada bahkan sejak 2000-6000 SM. Gila! Ini penemuan yang sangat luar biasa. Saya lantas membayangkan naskah Undang-undang Tanjung Tanah yang didaulat menjadi naskah Melayu tertua di dunia, bukankah itu juga ada hubungannya dengan Dharmasraya dan Kerinci? Berarti peradaban orang dulu sudah sangat jauh dan hebat. Menhir-menhir yang berjumlah ratusan ini juga membuktikan banyak hal, namun yang pasti nenek-moyang orang Minang sudah mengecap peradaban tingkat tinggi sejak dulu.
Saya mulai mengitari kawasan tersebut dengan kepala berdengung hebat. Eureka! Saya tiba-tiba menjadi seperti Newton yang berhasil memecahkan satu rumus dan berteriak sambil telanjang bulat mengelilingi kota. Saya merasa ini adalah harta yang sangat berharga untuk memukul mundur pendapat-pendapat “lalim” yang menyebut orang Minang tidak berperadaban. Saat menemukan menhir terbesar yang ada di sana (panjangnya 3,25 meter) saya kian yakin ini akan menjadi tempat yang sangat menjanjikan untuk membuat laporan perjalanan, sekaligus mengenalkan pada banyak orang ada sebuah situs yang spektakuler di Sumatera Barat.
“Hujan ….” Rais kembali menghampiri saat saya masih sibuk mengedarkan pandangan. “Kita balik ke lepau tadi saja.” Dan tanpa babibu dia berjalan lebih dulu. Dasar! Suka sekali mengganggu kesenangan orang lain.
Kami kembali memesan kopi jagung, lepau itu tidak terlalu besar, namun ada balai-balai kayu yang biasa dipakai untuk orang duduk-duduk minum atau sesekali bermain domino sekedar melepas penat setelah seharian bekerja. Di sanalah saya bertemu dengan ibu Sentiana, seorang pribumi Maek yang mengisahkan sebuah cerita yang membuat kami tercengang. Perempuan 50 tahun itu mulanya tak hendak banyak bicara, namun setelah kami menyebut baru melihat situs dan menyatakan minat dengan sejarah, mulut Santiana tak dapat berhenti lagi.
“Tahun 80-an dulu mulanya dilakukan penggalian, banyak ditemukan tengkorak manusia di sana,” ujar perempuan itu berapi-api, suaranya bahkan mengalahkan deru hujan. “Etek masih SMP tahun-tahun segitu, ada sembilan menhir dulu itu yang digali, tujuh yang ada kerangka manusia di dalamnya.”
Kini saya tahu mengapa ratusan menhir yang menghadap ke Gunung Sago itu di sebut sebagai “batu mejan” atau batu kuburan. Jumlah menhir di situs Bawah Parit pun tidak tanggung-tanggung, ada 375 menhir di sana, meski sebagian ada yang sudah tumbang, termasuk menhir yang paling tinggi dan paling besar itu.
“… Dulu lebih banyak lagi malahan, karena orang tidak tahu ini adalah lokasi bersejarah, jadi banyak yang mengambil batunya untuk sandi rumah atau dibuat lesung, ada juga yang membawanya pulang dan dijadikan sebagai bahan bangunan. Macam-macam.” Santiana kembali berujar, kami hanya tercengang-cengang mendengar penuturannya.
“Berarti satu batu itu mewakili satu orang ya tek?”
“Tidak, dulu sewaktu penggalian satu menhir itu ditemukan empat sampai lima kepala tengkorak. Kalau untuk ukiran itu katanya berarti status sosial orang yang meninggal lebih tinggi. Ukuran batunya pun begitu, mejan yang agak kecil mungkin bisa jadi yang dikubur juga masih anak-anak. Kalian sudah pernah ke situs yang di Koto Gadang? Di Balai Batu?”
Kami serempak menggeleng.
“Di Koto Gadang agak berbeda dengan di sini, kalau di Balai Batu ada semacam rumah batu, atau apa itu namanya …”
“Punden,” sambung seorang bapak-bapak yang duduk di ujung bangku kayu, lelaki itu hanya memakai kain singlet putih dan sebatang rokok dji sam soe kretek terjepit di jarinya.
“Iya, kalau di sana fungsinya juga sebagai pemujaan, di tengah punden itu dulu ada menhir yang paling besar, tapi kini sudah tidak ada lagi, entah hilang ke mana.”
Batu yang sudah ada sejak zaman batu besar, situs makam yang berkelompok, seluruhnya menghadap ke Gunung Sago, dan ukiran yang menakjubkan. Apakah kawasan itu dulunya memang dipakai untuk tempat pekuburan? Saya mulai berangan-angan tentang Inyiak Garagasi yang memiliki badan besar dan tegap, yang konon berjalan ratusan kilo sudah menjadi hal yang lumrah kala itu dilakukan dalam satu hari. Bahkan langkahnya saja dari satu bukit ke bukit lain. Jarak, dalam kurun waktu dapat berubah pemahamannya secara drastis, bisa jadi rumah nun jauh di sana sementara pandam pekuburan jauh pula jaraknya. Apa orang zaman dulu memang sebesar itu?
“… Ukuran tengkoraknya mungkin sama atau sedikit lebih besar dari kita, sudah tidak terlalu ingat etek karena masih kecil-kecil dulu, tapi apa mungkin batu mejannya lebih besar daripada orangnya? Tentu tidak mungkin juga, kan? Lihat saja mejan-mejan sekarang, lebih kecil daripada ukuran orang yang meninggal.”
Rais menjadi tegak telinganya mendengar cerita tersebut, saya yakin banyak pertanyaan menyanak dalam kepalanya, namun dia tak tahu memulai dari mana. Pada akhirnya kami hanya menjadi pendengar yang sesekali membalas dengan lenguhan ohhh begitu, waahhh dan decak kagum.
Lelaki itu kembali menuturkan tentang pembukaan dan pemagaran situs yang dimulai sejak tahun 90-an awal, kala itu masih berada di bawah naungan Muskala (Museum Purbakala) sebelum kemudian dijadikan sebagai situs cagar budaya tahun 2010. Lelaki itu juga menjelaskan kalau punden yang ada di situs Balai Batu dulunya dibangun dengan batu yang direkatkan dengan putih telur, namun kini bangunan tersebut sudah dipugar dan beberapa sudah menggunakan semen sebagai perekat.
“Kalau di Maek ini sedang banyak musibah, diadakan do’a tulak bala ke sana, disembelih sapi hitam seekor,” katanya sambil menghembuskan asap rokok yang bergelung-gelung. “Yang uniknya kalau di sini makan bajamba tulak bala dan menyembelih sapi hitam itu tidak dengan piring atau baki besar, tapi dengan tempurung kelapa, makan dan minum harus dari tempurung itu.”
“Kapan terakhir do’a tulak bala seperti itu diadakan, Pak?” Saya bertanya, fakta ini tentu sangat mahal sekali harganya. Saya hanya kebetulan bertemu dengan mereka karena hujan deras, namun sepertinya keberuntungan sudah ada, banyak fakta yang saya dapatkan dari cerita mereka.
Lelaki itu merenung sejenak, menatap langit-langit kedai. “Kalau tidak salah tahun 80-an terakhir diadakan do’a tulak bala, sejak itu sudah tidak ada lagi sampai sekarang.”
“Sapinya benar-benar harus hitam semuanya, Pak?”
“Iya, harus hitam semuanya, habis dimasak dimakan bersama-sama dengan tempurung sebagai pengganti piring, minum juga dengan tempurung kelapa,” ulang lelaki itu pada kami.
Fakta seperti itu tidak akan saya dapatkan jika tidak langsung datang ke Maek, jika untuk tahu jumlah menhir yang ada di sana, atau jumlah situs, saya tidak perlu datang langsung berhujan-hujan. Cukup duduk di depan laptop dan mengetik di layarnya, keterangan akan saya dapatkan. Jumlah menhir di situs Bawah Parit ada 375 buah, di situs Balai Batu ada 31 buah, yang sudah terdata oleh BPCB berjumlah 1200 buah menhir, dan menhir tersebut tersebar di 13 titik. Tulisan-tulisan dengan keterangan seperti itu sudah banyak berseliweran di layar laptop saya.
“Kalau kalian nak tahu mengapa seluruh menhir Maek menghadap ke Gunung Sago, datanglah bisuak boliak (lagi besok), ada pula kisahnya, tak bisa diceritakan secara singkat.” Lelaki bersinglet itu seolah menahan kami, namun di satu sisi juga menginginkan kami kembali mencarinya. Saya tentu saja tak dapat memaksa beliau bercerita, namun dari tatapan Rais saya dapat menafsirkan kalau dia tidak menyesal saya ajak meski ke kuburan batu yang berusia ribuan tahun.
Kami pamit setelah menghabiskan kopi, hujan mulai reda dan mantel teletubis yang kami beli di jalan sudah dilipat dan masuk ke dalam jok. Di jalan, saya mulai memikirkan kapan untuk kembali ke Maek dan mencari cerita lebih banyak lagi. Harapan itu saya tutup karena di simpang Baso, Agam, hujan dan guntur menyambut kami.
Oh … Sapardi.