Pada awal pembangunannya, daerah ini dipimpin oleh Si Amai Datuak Basa, penghulu Suku Koto, dan Sari Marajo Dt Rajo Maninjun, penghulu Suku Chaniago.
Dua tiang besar di tengah masjid merupakan lambang dari peran penting Dt Rajo Maninjun dan Si Amai Datuak Basa dalam pembangunan masjid.
Pada tahun 1930, Surau Batu selesai dibangun dan mulai digunakan untuk kegiatan ibadah.
Surau ini mulai berubah nama menjadi Masjid Ikur Koto pada tahun 1942, dan diresmikan oleh Angku Palo Si Atjad.
Proses pembangunan masjid mellibatkan berbagai kelompok masyarakat, seperti kelompok anak silat, kelompok main bola, hingga tukang yang berasal dari Solok dan Kampung Kasang.
Arseitektur Masjid
Secara arsitektur, masjid ini memiiki desain klasik dengan atap berbentuk limas persegi empat yang terdiri dari 4 tingkat.
Dinding dan tiangnya menggunakan gaya kolonial Belanda yang mmeberikan kesan arsitektur masa lalu yang kuat.
Jika dilihat lagi, masjid ini memiiki kemiripan dengan masjid dan surau lainnya di Pariaman dan Padang Pariaman, terutama pada atapnya yang menggabungkan budaya Eropa dan Minangkabau.
Di depan mihrab, terdapat 3 lekukan yang melambangkan kebersamaan antara penguasa, ulama, dan masyarakat.
Masjid Raya Ikur Koto memiliki ruangan utama berukuran 10×10 meter, sehingga pada bulan Ramadhan, jamaah melimpah hingga ke teras.
Teras yang mengelilingi masjid berukuran 2 meter ini sering digunakan sebagai tempat sholat tambahan ketika di dalam masjid sudah penuh.