Saat ini sudah tidak sulit lagi untuk mendapatkan sarung dengan berbagai model dan merek. Di pasar pun sudah banyak sarung yang dihasilkan oleh industri dengan kualitas yang jauh lebih baik.
Tidak itu saja, sarung yang dihasilkan oleh tenunan tradisional dari berbagai daerah dengan latar belakang etnis turut pula meramaikan pasar.
Hal itu mengakibatkan kemampuan bertenun bagi seorang perempuan Silungkang adalah sebagai keharusan.
Mengikuti perkembangan zaman yang sudah lebih maju, nilai-nilai tradisional yang dianggap sebagai penghambat pembangunan dan kemajuan sudah banyak yang ditinggalkan.
Sekarang ini orientasi orang sudah mengarah pada paradigma ekonomi lokal. Paradigma ekonomi itu diterapkan sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh karena itu, jika dulu laki-laki tidak ada yang ditemukan bergerak dalam bidang pertenunan, pemikiran itu sudah ditinggalkan.
Saat ini laki-laki pun sudah ada yang bertenun. Hanya saja alat tenun yang digunakan laki-laki itu tidak seperti yang digunakan perempuan.
Kain Songket Silungkang Dilestarikan Sebagai Warisan Budaya
Salah seorang penenun perempuan di Silungkang, Fivi Elda mengatakan kain Silungkang sudah dikenal sejak dulunya, dirinya juga banyak menyimpan berbagai corak dan jenis kain kuno Silungkang peninggalan nenek moyangnnya yang saat ini tidak ada di produksi lagi.
Bak harta karun, kain Songket Silungkang milik neneknya disimpan dengan rapi, kain-kain kuno tersebut berasal dari kain sutera dengan corak motif lama dan tenun ikat, salah satu motifnya yaitu pucuk rebung (bambu muda).
Untuk melestarikan kain Silungkang sebagai warisan budaya, Pemerintah Kota Sawahlunto giat menyelenggarakan acara Sawahlunto International Songket Silungkang Carnaval (Sissca) setiap tahun, sejak tahun 2015.
Seluruh masyarakat Sawahlunto diajak memperagakan kain songket kepada wisatawan yang datang, berbagai penampilan-penampilan unik dan menarik, acara tahunan ini merupakan atraksi yang selalu dinanti-nanti setiap wisatawan ketika berkunjung ke Sawahlunto.