Demikianlah orang tua mensosialisasikan pertenunan tersebut ke anak cucunya secara turun temurun. Kebiasaan bertenun tersebut berlangsung terus menerus dan sempat menjadi sebuah tradisi.
Kegiatan yang sudah mentradisi itu memunculkan pameo yang intinya untuk menyadarkan perempuan Silungkang agar senantiasa mempelajari tradisi bertenun itu, dengan kata lain agar kacang tidak lupa pada kulitnya.
Pernyataan itu menyebutkan bahwa jika seorang perempuan Silungkang belum bisa bertenun meskipun dirinya berasal dari Silungkang, Ia belum bisa dikatakan orang Silungkang.
Adanya pernyataan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Silungkang mengakibatkan kemampuan bertenun merupakan keharusan bagi perempuan orang Silungkang.
Karena pernyataan tersebut sudah tertanam sebagai doktrin bagi perempuan Silungkang, maka dengan sendirinya mereka pun berusaha agar bisa bertenun.
Kalau perempuan tersebut tidak bisa bertenun, mereka malu dikatakan seperti sok, sombong, tak tahu diri, dan lain-lain yang semuanya merupakan nada mengejek.
Perempuan Silungkang Dituntut Kreatif Menghasilkan Songket
Selain anak gadis, ibu rumah tangga pun banyak yang melakukan pertenunan. Sambil bertenun ibu rumah tangga itu sekaligus mengerjakan pekerjaan rutin lainnya seperti memasak, menyapu, mencuci dan memomong anak.
Untuk perempuan Silungkang, bertenun merupakan kegiatan satu-satunya yang bisa dilakukan, sebab lahan pertanian tidak mereka miliki.
Daerah Silungkang yang berbukit-bukit mengakibatkan daerah Silungkang tidak cocok dijadikan sebagai lahan pertanian.
Sesuai dengan perkembangan zaman, keharusan untuk dapat bertenun kini telah bergeser dari pandangan orang Silungkang.