Oleh : Eddy Yatman
Mengamati hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 ini sejak kemarin, otak saya tak mampu menerima data-data dan fakta-fakta yang tersaji. Padahal, 30 tahun lamanya saya berkarier sebagai dosen dan 30 tahun pula saya mengampu mata kuliah Matematika serta lima tahun Metode Statistik.
Dengan demikian, perkara mengolah data dengan metodologi statistik dengan sederet angka yang bersifat matematis tentu saja saya tak tergolong dungu. Karena sudah jadi mainan biasa bagi saya. Tapi, untuk kali ini, skill dan pengalaman saya tak berguna. Mungkin IQ saya tak setinggi IQ para supplier data dan fakta hasil Pilpres tersebut.
Contohnya tak sulit untuk dicari. Pertama adalah yang ini. Di rumah saya, ada enam orang yang berhak ikut memilih. Tentu saja kartu pemilih yang berhak kami terima juga enam. Awalnya, petugas Pemilu memang mengirim enam kartu. Itu dilakukannya empat hari sebelum 14 Februari.
Delapan tahun saya tinggal di rumah ini, belum pernah ada orang lain yang membuat KTP menggunakan alamat ini. Tapi, 12 Februari, sehari sebelum pencoblosan, petugas mengantarkan lagi dua kartu pencoblosan ke rumah saya. Atas nama dua orang, yang saya tidak kenal nama mereka sama sekali. Tapi, di kartu itu, jelas-jelas alamat mereka cocok dengan alamat rumah saya.
Kebetulan, yang menerima kartu itu adalah istri saya. Secara spontan, ia menolak untuk menerima kartu tersebut. Padahal, seharusnya dia terima saja. Sebab, jika tidak diterima, tentu kartu itu masih bisa digunakan oleh kedua penggunanya untuk mencoblos.
Tapi, menurut saya, si petugas itu mungkin belum kena brief oleh bosnya. Kalau sudah, tentu ia tidak akan seongok itu datang membukakan aib.
Contoh kedua adalah data quick count yang kita tonton dalam dua hari ini, baik di televisi maupun di Youtube. Menurut hasil survei yang dilakukan sejumlah lembaga survei sebelum 14 Februari (terlepas dari kredibel atau tidaknya lembaga-lembaga tersebut), elektabilitas pasangan 02 masih di bawah 50%.
Kita asumsikan saja hasil survei itu benar. Dalam ilmu statistik, ada yang disebut margin error, dan itu berkisar di angka 2,5%. Artinya, elektabilitas yang sebenarnya mungkin cuma 47%.
Di luar negeri, di negara-negara maju tentu saja, angka pada hasil quick count biasanya di bawah angka elektabilitas. Dengan kata lain, angka quick count pasangan 02 tadi takkan mungkin mencapai 57% atau 59%, seperti yang kita lihat sejak satu jam setelah pencoblosan. Ini ajaib.
Yang ketiga, hasil penghitungan KPU. Ini lebih ajaib lagi. Dan tak masuk ke dalam logika manusia waras. Bayangkan, di sebuah TPS yang pesertanya cuma 300 orang, misalnya, angka perolehan pasangan 02 mencapai 500. Sedangkan 01 hanya 50 dan 03 cuma 20.
Di TPS lain, saat hasil pencoblosan belum di-input, angkanya sudah keluar di data tabulasi Pilpres KPU. Kalau ketahuan, panitia bedalih bahwa itu human error. Kalau human error, kok erornya sebegitu parah? Anehnya lagi, eror itu bisa melakukan tebang pilih secara otomatis, dan tak pernah eror dalam memilih.
Kalau ingin diteruskan, masih ada ratusan, bahkan ribuan, lagi keajaiban yang membuat orang-orang yang berotak waras merasa masygul.
Apakah masyarakat masih bisa berharap hasil penghitungan KPU berbeda dari hasil quick count? Saya tidak tahu.
Tapi, menurut instink saya, jika masih banyak masyarakat–terutama pendukung 01 dan 03–yang berharap pada penghitungan KPU untuk mendapatkan hasil yang kredibel dan legitimate, agaknya mereka akan menuai angin. Apa pun argumen dan logika yang mereka kemukakan, orang-orang KPU pasti bakal melangkah sesuai dengan kendali dari tuan mereka.
Berarti, tak ada lagikah harapan? Tentu saya berharap masih ada. Setidaknya yang berikut ini. Yakni, aturan yang mengharuskan keunggulan pasangan tersebar minimal di 20 provinsi.
Tapi, melihat sepak terjang rezim yang sekarang ini dalam beberapa kali Pemilu dan Pilpres yang diadakan di Indonesia, saya tak yakin keadilan dan kejujuran itu akan muncul pada penghitungan hasil Pemilu dan Pilpres yang baru berjalan ini.
Lalu, bagaimana jika hari ini KPU mendapatkan bisikan halus dari segerombolan jin dari lubang kubur? Namun, apa kira-kira yang dibisikkan oleh gerombolan jin itu? Bisa saja begini bunyinya: “Hari ini juga kalian harus membuat suatu aturan baru. Kalian nyatakan bahwa kemenangan suatu paslon di Pilpres kali ini baru dinyatakan sah bila sudah tersebar minimal di 80 provinsi!”
Nah, lho. Hingga hari ini, Indonesia baru memiliki 38 provinsi. Tapi, menurut saya, dengan skill dan profesionalisme yang sudah tak tertandingi oleh bangsa mana pun, pemerintah takkan gentar.
Dalam satu malam, saya yakin, pemerintah kita mampu memproduksi 80 provinsi baru di negara ini. Lengkap dengan kabupaten dan kota. Juga aparat yang genius-genius, loyal-loyal, dan sangat doyan pada cuan yang bergumpal-gumpal. Tak ketinggalan pangung-panggung hiburan untuk ajang berjoget ria bagi para aparat yang unyu-unyu dan gemoy-gemoy itu.
Jakarta, 15 Februari 2024
Eddy Yatman merupakan seorang akademisi, pengusaha, dan traveler, tinggal di Jakarta