Data tahun 2015 mencatat tingginya angka pernikahan pada usia 16-19 tahun, terutama oleh perempuan.
Kecamatan Koto Tangah menjadi sorotan dengan tingkat pernikahan usia dini yang tertinggi.
Dampak dari pernikahan dini, seperti pertengkaran, percekcokan, dan bentrokan antara suami-isteri, menjadi tantangan serius dalam rumah tangga (Himsyah, 2011).
Melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh pernikahan usia dini, penting untuk menjalankan kebijakan pendewasaan usia perkawinan.
Program Keluarga Berencana Nasional, dengan fokus pada peningkatan umur kawin pertama, dapat membantu menurunkan Total Fertility Rate (TFR) dan mengurangi risiko kesehatan reproduksi bagi perempuan.
Upaya lain seperti kebijakan wajib belajar 12 tahun dapat membantu menekan angka pernikahan dini dengan memberikan peluang anak-anak untuk menyelesaikan pendidikan mereka sebelum menikah.
Seiring dengan berbagai upaya dan kebijakan yang diimplementasikan, terjadi perubahan signifikan dalam tren pernikahan usia dini di Sumatera Barat dalam 10 tahun terakhir.
Data terbaru dari news.republika.com menunjukkan penurunan tajam dalam angka pernikahan dini di provinsi ini.
Kebijakan pendewasaan usia perkawinan dan program Keluarga Berencana Nasional berhasil memberikan dampak positif dengan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya persiapan sebelum memasuki kehidupan pernikahan.
Meskipun masih ada tantangan, penurunan angka pernikahan usia dini menjadi langkah positif menuju masyarakat yang lebih sadar akan hak-hak dan kesejahteraan perempuan serta pentingnya pendidikan yang lebih tinggi.
“Perkawinan yang matang adalah buah dari persiapan yang bijak, bukan tergesa-gesa. Dalam meniti kehidupan berumah tangga, berikan waktu untuk tumbuh dan berkembang. Kebijaksanaan dan kesadaran akan membawa kelimpahan, bukan hanya dalam pernikahan, tetapi juga dalam kehidupan.”
(Fiyu)