TOPSUMBAR – Sebelum Islam mencapai Sumatera Barat, masyarakat Minang hidup dengan pedoman alam sebagai guru,
menggali nilai-nilai yang diberikan alam untuk menjadikannya landasan hidup.
Kemudian, ketika agama Islam memasuki wilayah ini, ajarannya dengan mudah diterima karena sejalan dengan nilai-nilai yang telah dianut oleh masyarakat Minang.
Pada masa penjajahan Belanda, terjadi pertentangan yang dimanfaatkan Belanda untuk menciptakan perpecahan dalam masyarakat Minang, melahirkan Perang Paderi.
Untuk mengakhiri konflik ini, muncullah Piagam Bukik Marapalam atau Sumpah Sati Bukik Marapalam.
Perjanjian ini merupakan hasil kesepakatan antara pemuka agama dan adat Minang, melahirkan falsafah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah,”
yang menjadi landasan dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik Minangkabau.
Sumpah Satie di Bukik Marapalam
“Sumpah Satie Bukik Marapalam” sendiri berasal dari istilah “setia, benar, atau sakti,” dan konon, sumpah ini diucapkan di puncak Bukit Marapalam, yang juga disebut Puncak Pato.
Nama ini berasal dari kata “Merapatkan Alam,” yang menggambarkan hubungan erat dengan alam Luhak nan Tigo.
Falsafah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” menggambarkan perpaduan Islam dan adat di Minangkabau.