Oleh : Hasbunallah Haris
HB Jassin menyebut imajinasi sebagai sesuatu yang mesti ada dalam diri tiap-tiap individu manusia, tanpa imajinasi, dunia hanyalah kekosongan tak berujung yang diiisi oleh manusia-manusia kaku.
Segala hal yang ada di dunia ini lahir dari imajinasi; tanah rempah, pesawat terbang, hingga terus bergerak maju seperti fisika kuantum dan konsep ruang dan waktu yang ternyata bisa dibengkokkan.
Tak ayal, dalam tiap lapisan masyarakat, imajinasi adalah pilar yang sangat krusial demi kelangsungan hidup.
Lantas, bagaimana dengan masyarakat urban yang hidup serba individualis? Bukankah mereka tak lagi membutuhkan imajinasi karena segala kebutuhan sudah tercukupi?
Sejatinya, sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan pernah lepas dari keterikatan satu dengan yang lainnya. Konsep-konsep inilah yang digagas Ibn Khaldun ratusan tahun silam dan kemudian dipatenkan oleh Auguste Comte dengan istilah “sosiologi” dalam bukunya Cours De La Philosophie Positive dan diakui sebagai The Father of Sociology.
Eropa mulai membuka matanya terhadap hubungan-hubungan dalam masyarakat urban dan meneliti banyak hal tentang keterikatan antara manusia dengan sastra (baca: seni). Dengan demikian, meminjam konsep Hegel, sebuah tesis akan dilawan oleh anti tesis yang kemudian melahirkan sebuah kesimpulan baru yang lebih ramah dan fleksibel disebut sintesis.
Dalam kasus masyarakat urban yang serba sibuk dengan rutinitas dan berlomba dalam hiruk-pikuk kemelut dunia metropolitan, mereka tentu saja jenuh atas pekerjaan yang sangat membebani, dan sastra, menjawab semua itu bagaimana menjadi hidup yang seimbang, sebagaimana yin dan yang, berhenti sejenak untuk melihat bagaimana sebetulnya dunia ini bekerja.
Diskusi-diskusi dengan topik tata kelola kota, sastra, dan masyarakat urban di dalamnya adalah gagasan yang sangat menarik untuk dihabas.
Sigmund Freud, mengemukakan teorinya mengenai psikoanalisis sudah jauh-jauh hari menyampaikan bahwa sebuah karya sastra adalah tentang manusia dan sifat-sifatnya, atau penokohan yang direfleksikan dengan tindak-tanduk manusia.
Pramoedya Ananta Toer juga mengamininya dengan menyebut penelitian terpanjang yang tidak akan pernah mencapai kesimpulan adalah penelitian mengenai manusia.
Dengan latar belakang demikian, lahirlah Tetralogi Pulau Buru yang sangat fenomenal, sebuah kisah manusia dengan buku pertamanya, Bumi Manusia.
Pram menyadari dengan sebenar-benarnya dan ingin menyampaikan di masa depan beginilah masyarakat urban era kolonial, beginilah kelakuan-kelakuan bejat VOC dan kroni-kroninya, dan beginilah bobroknya hukum Belanda yang dibuat dengan sekehendak hati.