Agak-agaknya, Uda Afri juga tengah mengkritisi gelar yang diberikan kepada sembarang orang. “Gelar adat diberikan kepada pemangku adat yang layak baik dari segi watak maupun kelakuan, bukan kepada pejabat pemerintah, Dungu!” demikian rasa-rasanya teriakan Uda Afri yang menggaung di gendang telinga saya.
Jika kita mencari padanannya (bukan untuk dibandingkan tentu saja, sebab zaman pun sudah jelas berbeda) Abdul Muis dengan Salah Asuhan yang sangat melegenda itu, pun tengah menuturkan perkara serupa: bagaimana seorang anak muda Minang yang enggan mengakui ke-Minangannya, hingga dia tergila-gila untuk menjadi seorang Belanda hingga membayar mahal demi mencapai hasratnya tersebut, namun tetap saja gagal.
Gagal segagal gagalnya bahkan. Karaman (tokoh dalam cerpen) pun demikan rasanya, dia ingin berwibawa, dipandang sebagai orang penting, namun sejatinya tetap saja tidak bisa sebab sejak dalam wataknya saja sudah tak karuan. Akhirnya gelar hanya tinggal gelar usang yang tiada berguna lagi.
Demikian pula dengan cerpen ketujuh, Rumah Nenek, yang mengisahkan pembongkaran rumah gadang komplit beserta pandam pekuburan yang ada di dalamnya hanya gara-gara perkara tanah.
Dalam percakapan singkat kami (saya dan Mas Fauzan) dengan tema Mambangkik Batang Tarandam: Mengembalikan Marwah Orang-orang Lembah, saya tuturkan kalau itu bukanlah barang baru, konflik serupa itu sudah kerap terjadi di Minang ini.
Bagaimana sebuah tanah diperebutkan oleh kaum atau suku, dan bagaimana kerasnya watak orang-orang Minang dalam mempertahankan haknya.
Masyarakat Minang yang egaliter tentu dididik oleh kurun waktu yang panjang oleh moyangnya, dididik oleh alamnya yang keras dan terjal, inilah yang membentuk karakter Minang yang kuat, tak kenal ampun dan kadang-kadang juga “cerdas-cerdas licik.”
Novelia Musda, dalam De Priester en Zijn Invloed op de Samenleving in de Padangsche Bovenlanden menuturkan dengan apik bagaimana tipikal orang-orang Padang Darat yang keras dan enggan tunduk di bawah kungkungan kolonial.
Mereka dengan terang-terangan menyebut Belanda sebagai “perusak yang tak pantas dikasihani”, serta gigih mempertahankan hak-haknya dengan darah. Saya menangkap dengan jelas apa yang hendak disampaikan Uda Afri dalam dua cerpen ini, dan saya sangat menyukainya.
Bagaimana kita, sebagai masyarakat sekarang menilik dengan teliti bagaimana sejarah bergulir dan bercermin pada masa lalu. Almarhum Bapak Mestika Zed menyampaikan bahwa sejarah bagaikan anak panah, kita menarik busurnya jauh ke belakang, namun yang dituju nun jauh ke depan sana.
Cerpen yang sangat keras itu, lucu dan uniknya, malah diterbitkan oleh koran lokal yang jelas-jelas mengkritisi tanpa ampun personal orang Minang sendiri.
Padang Ekspres memberikan ruang tersebut dengan luas, yang dalam hemat saya, ini adalah pilihan sangat bijak yang menandakan dengan gamblang bahwa orang Miangkabau (seperti yang sudah diketahui bersama) sangat suka dikritik dan dihantam dengan argumen yang jelas namun cerdas.