Pertanyaan yang langsung menyenak dalam kepala saya saat itu adalah, mengapa penulis asal Minang selalu membicarakan isu-isu lama? Lama betul saya merenungi dan mencari jawaban pertanyaan aneh itu.
Sebab, tak hanya dilakukan oleh Uda Afri sendiri, Ahmad Fuadi dalam Anak Rantau juga menyinggung perkara yang sama, belum lama ini Bang Fauzan dengan nama pena Heuriskein, pun menulis hal yang sama dalam novelnya Dalam Remang Pergolakan, belum lagi penulis-penulis angkatan terdahulu seperti Ismardi dalam Jejak Romusha yang jauh lebih rinci dan terang-terangan menuliskannya.
Benang merah tersebut tentu akan lebih jernih kalau kita sampaikan langsung kepada sang penulis. Namun, dalam paradigma saya sebagai pembaca, pembicaraan mengenai PRRI harus terus diulang dan tak boleh lekang oleh zaman.
Bagaimana pusat memberikan cap terhadap Minangkabau yang pembangkang, yang sejatinya itu adalah ketimpangan pola pikir dan perspektif yang prematur belaka, bagaimana orang-orang pusat terlalu memforsir pembangunan hingga daerah sangat jauh tertinggal.
Alih-alih mencari jalan tengah perdamaian, mereka malah mengangkat senjata dan meluluhlantakkan Sumatera bagian barat secara teritorial, Minangkabau secara kultural. Apakah itu layak dilupakan? Tentu saja TIDAK AKAN PERNAH!
Adat Usang dan Ironi Masa Kini
Dalam cerpen kesembilan, Karaman dan Beruknya (diterbitkan Padang Ekspres, 24 Juni 2018) serta Rumah Nenek (diterbitkan Cendana News, 22 Agustus 2020) saya bahkan lebih tercengang-cengang lagi.
Realita masa kini demikian kental digambarkan Uda Afri, bagaimana sebuah gelar adat menjadi bulan-bulanan dan hilang wibawanya hanya karena ditompangkan kepada seorang lelaki kasar yang sudah oleng rumah tangganya dengan pekerjaan sebagai pemetik kelapa dengan beruk.
Ini adalah pukulan telak bagi gelar adat masa kini yang memang sudah demikian adanya. Sebuah gelar hanya tinggal gelar belaka tanpa memberikan marwah apa-apa lagi bagi pemangku gelar tersebut.