Uda Afri yang Mencungkil Masa Lalu
Saya tak heran jika penulis lokalitas dengan ide cemerlang tak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari tanah kelahirannya. Saya pun demikian, tak pernah meninggalkan kata Minangkabau dalam setiap tulisan yang saya hasilkan, jika tak menyebutkan secara eksplisit, saya akan menyebutkan nama beberapa kampung, jenis unggas, atau watak orangnya dalam tokoh-tokoh saya.
Uda Afri dengan segala kelindan wawasan yang beliau miliki telah menggunakan itu dengan sangat baik, tutur dalam tulisannya tak lepas dari daftar nama-nama tumbuhan dan barang (yang barangkali sekarang sangat jarang disebut) seumpama getah damar, rumbai, langkisau, katimuno, tombak gumbalo, banio, timbalun, pulai, serta banyak sekali nama-nama yang sudah jarang kita dengar.
Sejenak, saya seperti merasakan semangat Paman Yusi Avianto dalam Pengantin-pengantin Loki Tua yang juga menerapkan protokol serupa; menyemarakkan kembali kata-kata lama yang sudah jarang terpakai.
Semula, saya mengira dentuman kumpulan cerpen itu akan ada di awal seperti Robohnya Surau Kami karya sastrawan AA Navis, pun seperti yang dilakukan Idrus dalam Ave Maria, namun ternyata tidak.
Cerpen dibuka dengan sebuah kisah tentang harimau, ya harimau, Anda tidak salah membaca, yang saya rasa di dalamnya terdapat banyak sekali daftar nama-nama tumbuhan (meminjam kata Bang Benny Arnas, Afri adalah penulis dengan genre baru, yaitu florism) yang dapat saya maklumi sebab lebih jauh kita akan bicara soal lembah dan lingkungan.
Masuk ke cerpen selanjutnya, Pemetik Getah Damar (diterbitkan DetikHot, 6 Oktober 2019) saya baru bisa menemukan jati diri seorang Uda Afri Meldam sepenuhnya.
Cerpen ini mengulas tentang PRRI dan gejolak di ranah Minang. Saya menamai ini dengan istilah “mencungkil masa lalu”, namun sangat berani.