Oleh : Hasbunallah Haris
Mas Fauzan, editor IndonesiaTera, menghubungi saya sore itu, lelaki muda yang sudah saya anggap sebagai Mas sendiri (karena saya juga dibesarkan dalam kultur Jawa) menawarkan untuk mengirimkan buku terbaru karya Uda Afri Meldam, sebuah kumpulan cerpen.
Saya tentu saja dengan senang hati menerima kabar bagus itu, karena memang antara saya dan Uda Afri sudah terjalin beberapa kali pertemuan di event sastra dan saya selalu di posisi belakang beliau.
Saya betul-betul tak dapat menyamai ritme menulis Uda Afri yang (saya namai) ramah lingkungan dengan diksi-diksi halusnya tentang tumbuhan.
Terakhir saya membaca tulisan beliau, beberapa tahun lalu kala worshop di Taman Budaya, sebuah novel berjudul Katimuno yang diterbitkan Rumah Kayu Pustaka, sebuah kisah cinta kuat tentang cengkeh dan kejayaan masa silam yang terampas.
Saat buku tersebut sampai ke tangan saya, segera saya hubungi sang penulis dengan harapan dapat berdiskusi di kemudian hari (yang nyatanya hingga sekarang masih tertunda) sekaligus mengucapkan selamat atas buku tersebut.
Balasan dari Uda Afri singkat saja, basa-basi terima kasih dan sebuah kata terakhir yang membuat saya cukup tersentak, buku itu bahkan lebih dulu sampai ke genggaman saya alih-alih ke penulisnya sendiri.
Saya tentu saja agak sungkan, namun apalah daya. Terakhir saya dapat kabar, salah satu cerpen di buku tersebut mendapat penghargaan, ini tentu saja menambah semangat saya untuk menyelam lebih jauh bagaimana Uda Afri membangun narasi-narasi keras dalam setiap tulisannya.