TOPSUMBAR – Seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan kepadatan penduduk, permasalahan urban seperti kemacetan menjadi salah satu tantangan utama kota-kota besar di Indonesia. Di Bukittinggi, Sumatera Barat, Pemerintah Kota melihat pembangunan infrastruktur, khususnya Fly Over di Kawasan Pasar Aur Kuning, sebagai salah satu solusi.
Namun, setelah penyelesaian proyek, pertanyaan besar muncul apakah Fly Over ini benar-benar efektif?
BACA JUGA : Pembangunan Fly Over Sitinjau Lauik Penting dan Mendesak
Latar Belakang Pembangunan
Fly Over di Kawasan Pasar Aur Kuning tidak hanya menjadi monumen infrastruktur tetapi juga harapan bagi ribuan penduduk Bukittinggi.
Tentu, berikut kalimat tersebut dalam bentuk aktif:
Pemerintah membangun konstruksi dengan panjang 675 meter, lebar 10 meter, dan tinggi 5 meter dengan harapan untuk mengurangi kemacetan yang telah lama mengganggu warga.
Kemudian pemerintah meresmikan proyek ini pada tahun 2015 setelah membangunnya selama setahun dan proyek ini menelan dana hingga Rp. 96,8 miliar dari APBD dan APBN 2014.
Fly Over vs Jembatan
Di mata awam, Fly Over dan jembatan mungkin terlihat serupa. Namun, fungsi keduanya berbeda.
Jika jembatan lebih berperan sebagai penghubung dua wilayah yang terpisah oleh rintangan, seperti sungai atau lembah, maka projek ini didesain khusus untuk mengurai titik-titik kemacetan di area perkotaan.
Realita Pasca Pembangunan
Harapan besar selalu menyertai setiap langkah pembangunan. Namun, kenyataan pasca-pembangunan Fly Over Aua Kuniang agak mengecewakan.
Kawasan di bawahnya, yang seharusnya lega, kini malah menjadi tempat berjualan bagi pedagang K-5 atau kaki lima.
Mobil dan sepeda motor parkir sembarangan, dan kemacetan seolah tak berkurang.
Bahkan, banyak orang memberi julukan “Tanah Abang Kedua” kepada Pasar Aua Kuniang, yang dikenal sebagai pusat aktivitas perdagangan, karena kemiripan level kemacetannya
Tidak hanya itu, keselamatan juga menjadi isu.
Dalam waktu singkat pasca-pembukaannya, empat pengendara sepeda motor meninggal karena kecelakaan di jalur ini.
Tragedi ini menimbulkan tanda tanya besar tentang aspek keselamatan dari infrastruktur yang baru saja dibangun ini.
Dalam era modern, pembangunan infrastruktur seharusnya bukan hanya berfokus pada estetika atau sekadar solusi jangka pendek.
Kualitas, fungsi, dan keberlanjutan harus menjadi pertimbangan utama. Bukittinggi, dengan segala potensinya, diharapkan dapat memetik hikmah dari kasus Fly OverAua Kuniang ini.
Pembelajaran berharga ini seharusnya menjadi pedoman bagi kota-kota lain di Indonesia dalam merencanakan dan mewujudkan pembangunan di masa mendatang.
(Fiyu)