Oleh : Eddy Yatman
Di tahun politik, di negeri kita ini, terkadang hal kecil bisa jadi besar. Bahkan, hal yang selama ini dianggap biasa bisa berubah menjadi sesuatu yang berbuah fobia. Contohnya: dulu, bagi umat Islam, menyebut kata kafir adalah sesuatu yang biasa, karena istilah itu berasal dari Quran. Tapi, belakangan ini malah dipermasalahkan.
Tapi, baru-baru ini ada yang lebih ekstrem lagi. Apa itu? Kata “amin” –terminologi Islam yang bisa diucapkan sampai puluhan kali dalam sehari oleh seorang muslim yang taat. Tapi, karena pasangan capres dan cawapres Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar menggunakan akronim Amin sebagai brand kampanye mereka, ceritanya terkadang bisa menggelikan.
Konon, di sebuah masjid udik, di suatu hari, terjadi perdebatan sengit antara tiga personel intinya. Yang satu imam tetap, bernama Haji Ihsan. Yang kedua ketua pengurus hariannya, yang bernama Haji Kazzab. Dan yang ketiga ketua dewan pembina, bernama Haji Bahlul.
Saat itu, jemaah baru saja selesai menunaikan salat Subuh yang diimami Haji Ihsan. Dan, seusai salat, setelah berzikir sejenak, Haji Ihsan memimpin doa. Ada sekitar 20 doa yang diucapkan oleh beliau. Dan setiap beliau mengakhiri kalimat doa, semua jemaah menjawab serentak dengan kata: Amin!
Tiba-tiba, Haji Kazzab berdiri kemudian berteriak dengan suara lantang dan bergetar. “Maaf, ya. Sebenarnya sudah lebih dari satu bulan saya menahan amarah setiap saya ikut salat berjemaah di sini. Dan di pagi hari ini amarah saya sudah sampai ke ubun-ubun.”
“Maaf. Ada apa sebenarnya ini, Pak Haji?” ucap Haji Ihsan dengan sopan.
“Jangan berpura-pura kau! Gara-gara kau ini pendukung si Anies Baswedan dan si Muhaimin Iskandar, kau komandokan seluruh jemaah untuk teriak-teriak amin setiap menit! Jaga dong perasaan saya dan jemaah yang bukan pendukung si Anies itu!” jawab Haji Kazzab dengan mata merah dan melotot.
“Maaf, Pak Haji. Itu kan sesuai dengan ajaran agama kita, Pak Haji,” jawab Haji Ihsan dengan lembut.
“Tidak bisa! Sebagai orang yang cinta NKRI dan Pancasila, kita harus berlaku adil dong,” bentak Haji Kazzab.
“Berlaku adil gimana maksud Pak Haji,” tanya Haji Ihsan dengan heran.
“Jangan suruh teriak Amin terus mereka di dalam salat dan di setiap doa. Ganjar juga sering-sering disebut dong,” jawab Haji Kazzab sambil berkacak pinggang.
Haji Bahlul yang dari tadi hanya terdiam bersama seluruh jemaah langsung berdiri pula dan angkat bicara.
“Tidak bisa hanya begitu. Anda tadi bicara masalah adil. Saya setuju. Karena saya tidak kalah NKRI dan Pancasilanya dari Anda. Jadi, jangan hanya Amin dan Ganjar dong yang diteriak-teriakin di dalam salat dan di setiap doa. Prabowo juga dong!” ucapnya dengan mata membelalak dan suara melengking.
“Maaf, Bapak-bapak yang saya hormati. Ini menyangkut tata cara dalam beribadah lho. Kita nggak boleh mengganti kata amin itu dengan kata-kata yang lain. Haram hukumnya…”
“Tidak bisa!” teriak Haji Kazzab.
“Haram mbahmu!” bentak Haji Bahlul.
“Ihsan! Sekarang saya perintahkan begini. Mulai hari ini, kata Amin sehabis Al Fatihah dan setiap menjawab doa kau ganti dengan kata Ganjar! Kalau kau tak mau, kupecat kau jadi imam rawatib di sini,” ucap Haji Kazzab mengancam.
“Diganti Ganjar? No! Ganti dengan Prabowo! Tapi, biar tidak kepanjangan, kauganti dengan Wowo saja! Sebagai ketua dewan pembina, perintahku ini wajib hukumnya kamu taati!” bentak Haji Bahlul kepada Haji Ihsan.
“Sorry, kawan. Saya tidak setuju begitu! Amin harus diganti Ganjar saja! Tak ada lagi tawar-menawar. Itu sudah harga mati! Harga mati!” bentak Haji Kazzab.
“Wowo saja! Wowo juga harga mati!” teriak Haji Bahlul tak mau kalah.
“Ganjar!”
“Wowo!”
“Ganjaaaaar…!
“Wowoooooooo!…”
Karena tak ada yang mau mengalah, Haji Gabiun, ketua dewan penasihat, yang dari tadi mendengar sambil tersenyum-senyum kini ikut berdiri lalu mengajukan nasihat yang superjitu.
“Supaya lebih adil dan perseteruan ini tidak makin meruncing, saya usulkan begini: setiap tanggal ganjil, kata Amin diganti dengan Ganjar. Setiap tanggal genap, kata Amin diganti dengan Wowo. Begitu, Pak Ihsan. Untuk dilaksanakan!”
“Jadi, setiap saya selesai membaca Waladdhaalliin di tanggal ganjil, makmum berseru *Gaaaanjaaaaaar…*”
“Betul sekali!” jawab Haji Kazzab.
“Dan setiap saya selesai membaca Waladdhaalliin di tanggal genap, makmum berseru *Wooooowooooo…*”
“Beeetuuul,” jawab Haji Bahlul.
“Begitu juga setiap habis baca doa?”
“Buueennaaar!” jawab Haji Gabiun.
“Lalu, bacaan Amin nggak boleh diucapkan lagi. Begitu?” ucap Haji Ihsan sambil geleng-geleng kepala.
“Boleh. Tapi di tanggal 29 Februari saja,” jawab Haji Gabiun dengan kalem.
“Bagaimana, para jemaah? Anda semua setuju?” tanya Haji Ihsan.
“Seetujuuuuu!” teriak para jemaah yang berjumlah sekitar 100 orang itu dengan serentak dan penuh gairah.
Haji Ihsan pun termenung.
(Jakarta, 15 Oktober 2023)
Eddy Yatman merupakan seorang akademisi dan pengusaha tinggal di Jakarta