Namun, konon, karena tak ada dananya akibat krisis yang melanda Negeri Belanda, pembangunan jalur kereta itu terpaksa dibatalkan.
Jepang yang menemukan dokumen Belanda itu melanjutkan rencana untuk tujuan strategis perang. Ada yang menyebutkan, sekitar 85% jalur yang dibangun Jepang di bawah pengawasan Angkatan Darat ke-25 itu mengikuti rencana induknya.
Rute dibangun untuk menghubungkan Padang dengan sisi timur Sumatera, terutama sambungan rel dari pusat batu bara di Sawahlunto ke Pekanbaru.
BACA JUGA :Mengulik Sejarah Kolonial di Kota Terkecil Sumatra Barat Melalui Pesona Lubuk Mata Kucing
Menurut sejarawan dari Universitas Andalas, Gusti Anan, pembangunan jalur kereta api itu benar-benar diperlukan Jepang.
Selama perang berkecamuk, Jepang membutuhkan logistik dalam jumlah sangat besar dan bisa dikirim dalam waktu cepat untuk memenuhi kebutuhan serdadunya.
Batu bara dan minyak jarak juga merupakan komoditas amat penting untuk mendukung perang. “Sijunjung di mata Jepang adalah wilayah penghasil batu bara,” ujar dia.
Gusti Anan bercerita, Jepang secara khusus mengapalkan rel-rel yang dibutuhkan dari Jawa.
Batangan rel yang dinilai tak diperlukan lagi kemudian diangkut ke Padang, lalu sebagian diangkut ke kawasan Muaro Sinjunjung.
Demikian pula lok dan gerbongnya dibawa dari Medan dan Semarang. “Wajar saja bila rel-rel itu sulit diidentifikasi asal-usulnya,” katanya.
Untuk mewujudkannya, Jepang menerapkan konsep romusha. Seperti yang mereka lakukan di “negeri gajah putih”, Burma-Thailand.
Dalam banyak catatan yang tersebar di internet, disebutkan bahwa pembangunan jalur kereta api selesai seluruhnya pada 15 Agustus 1945.
Namun, Lokomotif dan gerbong-gerbongnya belum sempat digunakan untuk tujuan semula: mengangkut batu bara ke Pekanbaru.
Akibatnya, kereta api itu dipakai untuk membawa para tahanan perang dari kamp-kamp kerja paksa ke Pekanbaru.