Sekolah-sekolah Peninggalan Belanda yang Ada di Sumatera Barat

2. Sekolah Raja Bukittinggi (Kweekschool Fort de Kock)

Kweekschool Fort de Kock (King’s School Bukit Tinggi) dapat diartikan sebagai sekolah guru dalam bahasa Indonesia. Pada masa Hindia Belanda, pendidikan merupakan urusan yang sangat mahal. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati pendidikan.

Jika orang tua Anda berpenghasilan 100 gulden Belanda per bulan, Anda dapat bersekolah di sekolah Belanda (HIS) sejak usia 6 tahun. Jika Anda adalah anak pejabat setempat, meski berkulit coklat dan tidak memiliki sedikit pun keturunan Eropa atau Belanda, Anda bisa mulai bersekolah di Europesche Lager School (ELS) yang dikutip Tirto.id. Gedung SMA 2 Kota Bukittinggi saat ini merupakan gedung sekolah guru yang dikenal dengan nama Sekolah Rajo.

Sekolah Rajo didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 1 Maret 1873, untuk melatih guru-guru yang dapat membantu urusan masyarakat adat di Hindia Belanda. Tampaknya seperti itulah pemikiran kolonial. Pada tahun 1878, Sekolah Rajo pindah ke gedung baru, sekarang Gedung SMU 2 Bukittinggi.

Kepala Sekolah Rajo yang pertama bernama G. Van der Wijk, yang kemudian digantikan oleh J. Van der Toorn hingga tahun 1895. Staf pengajar yang paling terkenal di Indonesia adalah guru Nawawi St. Rajo. Kemakmuran (1859-1928).

Sekolah Lajo melatih calon guru yang kelak ditempatkan di Hindia Belanda. Seseorang yang berbakat seperti Tan Malaka, salah satu lulusan Kweekschool.

Namun di sinilah Tamalaka belajar tentang pendidikan modern. Setelah lulus, Tan Malaka mengajar di sebuah perkebunan toko makanan. Pada saat itulah Tan Malaka memulai perjuangannya. Rustam Effendi berbeda. Ia bekerja sebagai guru di Siak dan menulis lakon “Gratisari”.

Setelah pemberontakan PKI tahun 1926, Rustam melarikan diri ke Eropa. Di Belanda, ia menjadi orang Indonesia pertama yang masuk Tweede Kamer (majelis rendah) parlemen Belanda sebagai wakil Partai Komunis Belanda. Bahkan, salah satu ulama besar Minangkabau, Syekh Ahmed Al Khatib, juga bersekolah di Sekolah Rajah.

Hal ini didokumentasikan dalam buku Ilmuwan Islam di Pergantian Abad karya Ahmed Khatib (1983). Ia bersekolah di sana hanya sebentar karena ingin sekali pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar agama hingga ia menjadi guru besar di sana.

Sekolah Rajo ditutup pada tahun 1935 dan dibuka kembali setelah kemerdekaan dan diganti namanya. Sekolah Menengah Atas (SMT) berdiri pada tahun 1946 dan diubah menjadi SMA I B dan SMA II C pada tahun 1950.

Pada tahun 1960, SMA II AC dimekarkan menjadi SMA II C dan SMA A. Pada tahun 1962, SMA II C diubah menjadi SMA 2 Bukit Tinggi. Akhirnya namanya diubah pada tahun 1995 dari SMA 2 Bukittinggi menjadi SMU 2 Bukittinggi. Akibat pemutakhiran tahun 2016, namanya diubah menjadi SMA 2 Bukittinggi.

3. SMA Negeri 2 Bukittinggi (Normal School)

Sekolah Normal di Padang Panjang, yang kemudian menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan SMA 1, merupakan contoh nyata bahwa pemerintah tidak merusaknya sesuka hati, namun tetap mempertahankannya.

Halaman sekolah sangat luas, ruang kelas juga sangat luas, jendela sangat tinggi, ada dua helai daun yang patah menjadi dua. Pilar-pilarnya indah.

Dibangun pada tahun 1918 untuk calon guru yang akan mengajar di Tweede Inlande School, sebuah sekolah dasar Aborigin.

Saat gempa tahun 1926, sekolah aman. Bahkan dapur umum. Gedung sekolah terdiri dari ruangan panjang dengan beberapa kelas, kemudian beberapa gedung digunakan sebagai ruang kelas, dan kemudian aula. Ada juga bangunan besar di belakang, yaitu asrama.

Di depan sekolah terdapat halaman rumput luas dengan pagar kayu merah tua. Ada jalan di sekitar lapangan yang bisa dilalui mobil. Sekolah saat ini adalah gedung dan kompleks terbaik dari sekolah-sekolah awal.

Ada tanda yang dipasang di sana yaitu Warisan Budaya. Sekolah ini terletak di Kota Guguak Malintang menghadap Batusangkar. (AA)

Pos terkait