Dari kecil, Peltu Riswadi Zahar sudah diajarkan hidup mandiri dan disiplin oleh ayahnya, hobi beternak kambing sudah dimulai sejak di bangku sekolah dasar. Bersama sang ayah, Riswadi tekun mencari rumput saat pulang sekolah, kambing yang dipelihara bersama sang ayah terus berkembang biak, labanya dijual untuk membeli sepeda baru.
“Tak tanggung senang hati saat itu, pesan sang ayah, kalau ingin membeli sesuatu yang diinginkan, haruslah pandai mencari uang sendiri, jangan sampai membebani orang tua, apalagi menyusahkan orang lain,” cerita Riswadi mengingat masa-masa indah bersama almarhum ayahnya.
Barangkali itu pesan terakhir dari ayah yang terus terngiang di telinga, Tuhan berkehendak lain, saat duduk dibangku SMA ayahnya berpulang ke pangkuan Tuhan, bak disambar petir di tengah hari, mendengar kabar sang ayah pikiran langsung kosong, melihat rumah duka yang ramai dikunjungi sanak saudara badan langsung tak berdaya. Sejak ayahnya meninggal, semakin besar tanggung jawab dan beban hidup yang dipikulnya. Hidup serba berkecukupan, tidak jarang sering kekurangan, yang terpikir saat itu hanya berjuang hidup demi keluarga.
Ibunya, Rosmawati semenjak ditinggal suami selalu dirundung kesedihan memikirkan empat orang anak yang masih kecil dan sedang bersekolah. Tidak ingin melihat ibunya bersedih Riswadi memutuskan masuk TNI melalui jalur Secaba umum di Padang, walaupun keadaan keluarganya kurang mampu, semangat Riswadi tidak pernah padam, dirinya tetap kukuh ingin merubah nasib keluarga, karena kegigihan dan usaha yang maksimal mengikuti tes menjadi prajurit TNI-AD, akhirnya anak sulung yang sudah menjadi yatim ini lulus menjadi prajurit TNI-AD. Bak cahaya bulan menerangi malam, kabar kelulusan Riswadi menjadi angin segar bagi keluarga, tentu saja pintu masa depan bagi adik-adiknya untuk melanjutkan pendidikan.
Saat menjalani pendidikan, ada pesan mendalam yang diingatkan Riswadi kepada ibunya, yakni meminta agar tidak membangga-banggakan dirinya kepada orang lain. Jika ada yang bertanya keberadaan Riswadi, ibunya mengatakan Riswadi sedang ikut pamannya berjualan jamu di Pulau Jawa, berita kelulusannya menjadi TNI-AD tidak boleh disebar, apalagi dibanding-bandingkan dengan hidup orang lain.
“Katakan saja saya menjadi tukang jamu di Pulau Jawa mak,” pinta Riswadi kepada ibunya.
Kelulusan Riswadi bukan seperti jalan mulus yang baru diaspal, banyak rintangan dan jalan yang harus ditempuh. Belum lagi kekhawatiran dengan kondisi ibu yang sering sakit-sakitan, membuat prajurit TNI ini terus berjuang dan fokus saat menjalani pendidikan.
Setelah menjadi anggota TNI, Riswadi harus bekerja dua kali lipat, usai bertugas dirinya memilih untuk beternak sapi dan kambing demi mencukupi biaya hidup dan pendidikan ketiga adiknya di Padang.
Saat penugaasan operasi di Papua dan Timor Timur menambah sejarah panjang perjuangannya, ditambah 14 tahun di Kalimantan, dirinya tetap bekerja sampingan menjadi peternak kambing dan sapi kurban. Sebagai seorang anggota TNI dirinya tidak pernah malu memelihara hewan ternak. Riswadi mengaku beternak telah dijadikan hobi, setiap sore Riswadi berbaur bersama peternak lain ke ladang dan sawah warga mencari rumput untuk makanan ternaknya.
Dengan hasil beternak, Riswadi berhasil melanjutkan pendidikan ketiga adiknya hingga menjadi sarjana. Bahkan dengan hasil dari beternak sapi dan kambing kurban, dirinya bisa mudik setiap lebaran bersama anak istri ke kampung halaman di Gunung Sarik Kuranji Padang.
Gempa Padang 2009, Musibah Memberi Nikmat
Pada tahun 2009, saat terjadi gempa besar di Padang, Ibu dan adik-adik Riswadi juga ikut menjadi korban, rumah peninggalan ayahnya hancur dan rata akibat gempa. Kabar gempa Padang ini sontak membuatnya panik, dua hari pasca gempa jaringan telepon sudah mulai terhubung, bersyukur kabar baik datang dari keluarga bahwa semua dalam keadaan selamat.