Kehidupan yang Penuh Penderitaan
Kehidupan orang rantai di Sawahlunto sangat berat. Mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang kuat dan yang lemah. Orang yang kuat ditugaskan untuk bekerja di dalam lobang tambang dan mengusung gelondongan kayu untuk tambang.
Sementara itu, yang lemah bertugas merawat mereka yang sakit dan menyortir batu bara. Jadwal kerja mereka dibagi dalam tiga giliran, dan setiap pekerja harus memenuhi target yang ditetapkan. Kondisi yang keras dan perlakuan yang tidak manusiawi membuat beberapa dari mereka terus mencoba melarikan diri.
Pada tahun 1932, Belanda menutup beberapa lubang tambang karena alasan air rembesan sungai Batang Lunto yang selalu memenuhi lubang-lubang tersebut. Namun, pada tahun 2007, sebagian lubang tersebut dibuka kembali dan dijadikan tempat wisata sejarah tambang.
Mempertahankan Sejarah dan Mengenang Orang Rantai
Beberapa bangunan tua yang pernah digunakan sebagai tempat pekerjaan orang rantai telah diubah menjadi situs wisata sejarah. Salah satu contohnya adalah Lubang tambang Mbah Soero yang pertama kali dibuka oleh Belanda pada tahun 1898.
Nama “Mbah Soero” sendiri merujuk kepada seorang mandor bernama Soerono yang dikirim oleh pemerintah Hindia Belanda pada awal abad ke-20 untuk mengawasi kegiatan pertambangan. Tempat ini juga dikenal sebagai “Lubang Mbah Soero,” yang terletak di Tangsi Baru, Kelurahan Tanah Lapang, Kecamatan Lembah Segar.
Nama “Soero” sendiri diambil dari seorang mandor yang bekerja di lubang tambang tersebut. Ia dikenal sebagai sosok pekerja keras, tegas, dan sangat dihormati oleh para buruh tambang. Namun, bagi orang-orang rantai yang di sana, perlakuan yang mereka terima sangatlah tidak manusiawi.
Kisahnya bervariasi, dengan beberapa menggambarkan Mbah Soero sebagai pekerja keras, tegas, taat beragama, dan bahkan memiliki ilmu kebal. Namun, versi lain menyebutkan bahwa Mbah Soero adalah seorang mandor yang kejam, sering menyiksa anak buahnya dengan cambuk.
Para pekerja bukan hanya diikat oleh rantai di tangan, kaki, dan leher, tetapi juga oleh kondisi yang mencekik mereka, seperti tali besi yang mengikat nasib mereka. Tambang Sawahlunto terkenal karena metodenya yang langka, dengan penambangan dilakukan di bawah tanah melalui lorong-lorong yang mengintip ke dalam kedalaman bumi.
Terlepas dari perbedaan versi, Mbah Soero memiliki pengaruh besar dalam kegiatan pertambangan Sawahlunto, dan namanya tetap melekat pada situs wisata ini. Terowongan tambang ini dibangun dengan memaksa narapidana dari berbagai penjara seperti Jawa, Sulawesi, Medan, dan Padang.
Kisah pilu juga mencatat bahwa banyak pekerja tambang yang tewas tragis, dan jenazah mereka seringkali hanya ditimbun begitu saja di dalam gorong-gorong. Bekas galian tambang Ombilin kini telah berubah menjadi sebuah museum sejarah yang diakui secara internasional. UNESCO menobatkan tambang Ombilin sebagai situs budaya dunia pada tahun 2019.
Diketahui juga bahwa orang Belanda merampas upah yang diterima oleh orang rantai secara halus, melalui hiburan. Belanda menyediakan hiburan seperti pertunjukan gamelan, ronggeng, dan kuda kepang, bersama dengan perjudian, sehingga uang yang diperoleh orang rantai kembali ke pemerintah Belanda.