TOPSUMBAR – Orang Rantai, kelompok yang menderita dalam diam selama masa penjajahan Belanda, dan masih terpukul oleh akibatnya hingga saat ini. Terikat oleh rantai di kaki mereka.
Narapidana dan anak-anak adalah orang yang dipaksa bekerja di tambang batu bara di daerah Sawahlunto ini. Meski sejarah masa penjajahan telah berlalu, kisah tragis mereka tetap menjadi pengingat betapa beratnya beban yang mereka tanggung dalam mengeksploitasi kekayaan di negara sendiri.
Terpinggirkan dalam Masa Penjajahan Belanda
Penjajahan Belanda di Indonesia berlangsung selama 350 tahun, dan selama periode yang panjang ini, masyarakat Indonesia mengalami penderitaan yang luar biasa. Salah satu kelompok yang paling menderita adalah orang rantai. berasal dari narapidana dan anak-anak yang diculik dari berbagai daerah, terutama Pulau Jawa.
Narapidana yang dianggap pemberontak atau melakukan kejahatan kriminal seperti mencuri dan memperkosa juga dipaksa untuk bekerja di tambang batu bara ini. Para pekerja dipanggil dengan nomor dan angka, sehingga nama asli mereka hilang dan kerabat serta keluarga mereka tidak tahu keberadaan mereka.
Untuk meredakan kecemasan orang tua yang merindukan anak-anak mereka, penjajah sering kali mengatakan bahwa anak-anak mereka diambil oleh makhluk halus dan hilang secara gaib. Yang mana pada masa itu, kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal mistis sangat kuat, sehingga banyak yang mempercayai cerita yang dibuat oleh para kolonial.
Nasib yang Terbelenggu Hingga Saat Ini
Meskipun Indonesia telah merdeka dan terbebas dari penjajahan Belanda serta Jepang, nasib orang rantai masih belum berubah secara signifikan. Banyak keturunan mereka yang masih hidup dalam kondisi yang sulit dan tidak memiliki akses ke pendidikan tinggi dan terpaksa bekerja serabutan untuk mencari penghidupan.
Setelah masa penjajahan berakhir, beberapa dari mereka dipekerjakan oleh PT Bukit Asam untuk menggali batu bara. Namun, setelah perusahaan ini mengalami kebangkrutan, para buruh tersebut kembali kehilangan pekerjaan mereka. Selain itu, kepemilikan atas tanah dan hak-hak mereka diakui hanya dalam lingkup adat dan masyarakat asli Sawahlunto, sedangkan orang keturunan orang rantai masih sering kali dianggap sebagai pendatang.
Awal Sebuah Penderitaan di Sawahlunto
Sawahlunto adalah sebuah daerah di Sumatera Barat yang memiliki sejarah unik. Sebelum penemuan cadangan batu bara, Sawahlunto dianggap tidak penting oleh Belanda. Namun kenyataan ini berubah pada tahun 1868, ketika seorang ahli geologi Belanda, Williem Hendrik de Gereve, menemukan deposit batu bara yang besar di Sungai Ombilin.
Pemerintah Belanda melihat potensi ekonomi besar dari batu bara ini dan memutuskan untuk membangun pertambangan di daerah tersebut. Namun, masalah muncul ketika mereka kesulitan mendapatkan tenaga kerja. Untuk mengatasi hal ini.
Belanda menggunakan narapidana dan tahanan politik serta kriminal dari penjara-penjara di Pulau Jawa sebagai buruh tambang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan diangkut dalam kondisi yang sangat buruk dari Batavia (kini Jakarta) ke pantai barat Sumatera.
Setibanya di Sumatera Barat, mereka diangkut ke depot penampungan dan selanjutnya ke Sawahlunto dengan kereta api. Orang-orang ini dikenal dengan sebutan “orang rantai” karena kaki mereka dirantai sebagai alat untuk membatasi pergerakan mereka. Di Sawahlunto, orang rantai ditempatkan di tangsi-tangsi yang berfungsi sebagai penjara.