Pada tahun 1987, upaya untuk membangun kembali istana dimulai kembali, dan selesai pada tahun 1989, dengan kontribusi dari berbagai tokoh, termasuk Sutan Usman Yang Dipertuan Tuanku Tuo Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, Tan Sri Raja Khalid bin Raja Harun, Raja Syahmenan bin Raja Harun, dan Aminuzal Amin Datuk Raja Batuah.
Bentuk Ruang dan Ukiran
Istano Silinduang Bulan adalah rumah gadang sambilan ruang dengan ukuran 28 x 8 meter. Di halaman istana, terdapat dua rangkiang bernama Si Bayau-bayau dan Si Tinjau Lauik. Selain itu, istana ini juga memiliki empat buah bilik (kamar tidur) dan dua buah anjung, yaitu Anjung Emas dan Anjung Perak.
Istana ini juga menampilkan lebih dari 200 macam motif ukiran yang mencakup berbagai aspek budaya Minangkabau. Motif-motif tersebut menghiasi berbagai bagian dari istana ini, termasuk bandua ayam, dinding, jalusi, dan pintu masuk.
Seluruh istana ini juga tertutupi dengan kain tabir dan langik-langik dengan sulaman berwarna emas dengan berbagai motif, yang merupakan hasil kerajinan masyarakat sekitar Pagaruyung. Warna-warna yang mendominasi istana ini adalah merah, kuning, hitam, serta coklat (warna tanah), perak, dan emas.
2. Benteng Fort de Kock
Benteng yang berdiri megah di Kota Bukittinggi, Sumatra Barat ini, adalah sebuah peninggalan bersejarah yang dibangun oleh Kapten Bouer pada tahun 1825, saat Hendrik Merkus de Kock menjabat sebagai komandan Der Troepen dan Wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
Karena jasanya, benteng ini diberi nama Benteng Fort De Kock. Meskipun nama aslinya adalah ‘Sterreschans’, yang berarti benteng pelindung.
Pada tahun 1897, Benteng Sterreschan dibongkar dan tanahnya diambil alih oleh pemerintah Belanda, yang juga menetapkan batas kota Bukittinggi pada tahun 1888.
Sejarahnya menggambarkan perjuangan kolonial Belanda dalam menduduki Sumatera Barat, dan benteng ini digunakan sebagai kubu pertahanan dari perlawanan rakyat Minangkabau, terutama selama Perang Paderi pada tahun 1821-1837.
Selama pemerintahan Belanda, Bukittinggi menjadi pusat administrasi dan pertahanan, serta menjadi tempat istirahat para pejabat kolonial Belanda di wilayah tersebut.
Saat ini, Fort de Kock telah direnovasi menjadi Taman Kota Bukittinggi (Bukittinggi City Park) dan Taman Burung Tropis (Tropical Bird Park) sejak tahun 2002.
Meskipun mengalami perubahan, benteng ini tetap berdiri kokoh dengan cat putih-hijau, mencapai ketinggian 20 meter, berlokasi di area yang sama dengan Kebun Binatang Bukittinggi dan Museum Rumah Adat Baanjuang.
Fort de Kock adalah salah satu dari dua benteng Belanda yang masih berdiri di Sumatera Barat, satunya adalah Benteng Fort Van der Capellen di Batusangkar. Kedua benteng ini merupakan saksi bisu dari perjuangan Belanda selama Perang Paderi, dan hingga saat ini, mereka tetap menjadi bagian bersejarah yang penting di provinsi ini.