TOPSUMBAR – Berbicara tentang Perkampungan Adat Sijunjung di Propinsi Sumatera Barat ibarat meneguk air laut, semakin kita minum semakin membuat kita haus. Begitulah pesona Perkampungan Adat Sijunjung yang telah diganjar penghargaan tingkat nasional dari tahun ke tahun.
Tercatat, pada tahun 2017 Perkampungan Adat Sijunjung ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional.
Anugerah Pesona Indonesia (API) Award pernah diraihnya pada tahun 2019 kategori Kampung Adat Terpopuler, saat itu menyabet juara dua.
Tahun 2023, Perkampungan Adat Sijunjung memecahkan Rekor MURI sebagai Desa Wisata yang memiliki Rumah Adat Minangkabau Berjejer Terpanjang di Indonesia.
Pada momen yang sama, juara satu kategori Desa Wisata Berkembang, juga berhasil dibawa pulang dari ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2023.
Namun dibalik semua itu, ada beberapa fakta yang belum banyak diketahui publik Sumatera Barat maupun perantau Minang, termasuk diaspora yang bertebaran di berbagai negara.
Fakta-fakta tersebut, terungkap dalam Seminar Pelestarian Warisan Budaya di Kabupaten Sijunjung yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III beberapa waktu lalu.
Pusat Peninggalan Naskah Kuno
Dari 1.235 naskah kuno yang ditemukan di Sumbar, 275 naskah diantaranya ditemukan di Kabupaten Sijunjung, 275 ditemukan di Kabupaten Pesisir Selatan sementara 685 naskah lainnya ditemukan menyebar pada kabupaten/kota se-Sumbar.
Ini berarti bahwa, pusat penyimpanan dokumen ilmu pengetahuan khususnya ke-Islaman secara garis besarnya terkoneksi melalui jalur pantai di belahan barat Sumatera dan di belahan timur terkoneksi melalui jalur sungai menuju laut.
Tentunya membutuhkan kajian lebih dalam, apakah naskah-naskah tua tersebut terhubung dengan Aceh melalui pantai barat di Pesisir Selatan maupun yang tersimpan di Sijunjung apakah juga terhubung melalui Selat Malaka di pantai timur.
Pusat Kecendekiaan
Berbicara tentang perkembangan agama Islam di Sumbar, lebih banyak membahas seputar sebelum Paderi dan setelah Paderi. Namun hal itu tak terbukti di Sijunjung.
Sebagai tempat penyimpanan naskah, baik di Surau Pudak dan Surau Simaung di Nagari Sijunjung, Surau Calau di Nagari Muaro, maupun Surau Syekh M. Yasin di Nagari Limo Koto tak ditemukan adanya pengaruh Paderi.
Di Surau Simaung ditemukan 88 koleksi naskah, sebanyak 21.656 halaman dengan lebih dari 200 teks. Naskah itu mengungkap seputar keagamaan, kesejarahan, serta pengetahuan tradisional.
Sehingga pantaslah Tuanku Surau Simaung memperoleh penghargaan Nugra Jasa Dharma Pustaloka pada tahun 2022 untuk kategori Pelestarian Naskah Kuno dari Perpustakaan Nasional RI.
Demikian pula halnya dengan Surau Pudak dan surau-surau lainnya yang memiliki naskah kuno dengan isi sangat beragam, hal itu adalah gambaran kemajuan intelektual yang tak diragukan lagi pada zamannya.
Mengutip pendapat Azyumardi Azra (2004) seperti diulas Pramono dalam seminar, Mengabaikan naskah-naskah dalam penulisan sejarah dan dinamika Islam lokal bukan hanya keliru secara metodologis sejarah, tetapi juga dapat menghasilkan sejarah yang tidak akurat dan misleading (menyesatkan).
Perpaduan Lengkap Tangible dan Intangible
Dengan koleksi 76 Rumah Gadang di Perkampungan Adat Sijunjung, barangkali di daerah lainnya di Sumbar terdapat jumlah yang lebih banyak.
Namun daya tarik Perkampungan Adat Sijunjung bukan hanya kebudayaan yang nampak (tangible) berupa Rumah Gadang, surau, balai adat, maupun jumlah tiang mesjid sesuai jumlah suku dan tobek (tempat berkaul).
Disitu juga dilestarikan tatacara dan ritual berupa interaksi antara manusia dengan lingkungan hidup (intangible).
Hingga hari ini Perkampungan Adat Sijunjung masih melestarikan tradisi masyarakatnya mulai dari lahir, bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua hingga meninggal dunia.
Tangible dengan intangible dimaksud menyatu dengan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari di Perkampungan Adat Sijunjung ditengah arus globalisasi dewasa ini.
Di kawasan perkampungan adat yang linear sepanjang jalan, masyarakat lokal memiliki peraturan dilarang mendirikan bangunan baru melebihi ketinggian Rumah Gadang.
Tradisi bakaua adat, tobo kongsi, mambantai, turun mandi, bakikah, maminang, menikah, batagak gala serta beragam makanan tradisional pada kawasan Rumah Gadang berpadu apik menjadi “living monument” di Perkampungan Adat Sijunjung.
Model Pengelolaan
Meskipun telah mendapatkan pengakuan secara nasional, namun Perkampungan Adat Sijunjung masih dalam tahapan menuju pengakuan warisan dunia oleh United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Ditengah berkurangnya jumlah “Tukang Tuo,” untuk pembangunan maupun renovasi Rumah Gadang, terdapat beragam persoalan yang harus diselesaikan.
Belajar dari daerah lainnya seperti Tanah Lot, kelestarian situsnya tinggi, kesejahteraan masyarakatnya tinggi, keterlibatan masyarakatnya tinggi dan tingkat konfliknya rendah.
Tetapi di Borobudur, kelestarian situsnya tinggi, kesejahteraan masyarakatnya rendah, keterlibatan masyarakatnya rendah dan tingkat konfliknya tinggi.
Belajar dari dua situs tersebut, tentu harapan kita adalah terwujudnya “Kelestarian untuk Kesejahteraan di Perkampungan Adat Sijunjung,” yang bisa dicapai melalui kontribusi, inovasi dan kolaborasi antar semua pihak. (AG)