Akan tetapi globalisasi dan modernisasi dirasa sudah menggerus jati diri perempuan di Minang, untuk itu marilah kita kupas kembali filosofi mendalam yang disiratkan dari baju adat ini.
1. Limpapeh
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, Limpapeh memiliki arti tonggak utama di sebuah bangunan, yang merupakan tumpuan kekuatan dari tonggak lainnya.
Minangkabau sejatinya menjunjung tinggi marwah perempuan yang dibuktikan dengan sistem kekerabatan yang mengikuti garis keturunan ibu, dimana kaum perempuan dianggap sebagai pelopor utama dalam melestarikan nilai adat di Rumah Gadang.
2. Tingkuluak
Berbentuk runcing menyerupai gonjong Rumah Gadang, Tingkuluak ini menggambarkan atap rumah gadang Minangkabau seperti dua tanduk, adapun bahan yang digunakan untuk tingkuluak berupa kain salendang. Tingkuluak juga umumnya ditemukan dalam upacara adat di Minangkabau.
3. Suntiang
Suntiang kerap disamakan dengan sebuah mahkota, suntiang adalah hiasan yang dikenakan di kepala oleh wanita Minangkabau pada saat menikah, berbentuk setengah lingkaran dengan hiasan kupu-kupu, atau bunga.
Suntiang biasanya terbuat dari bahan tembaga, perak hingga emas. Akan tetapi karena bobot yang terlalu memberatkan, suntiang di Minang dimodifikasi menggunakan aluminium, sehingga tidak menghilangkan unsur estetikanya dan bobotnya menjadi lebih ringan.
Suntiang menggambarkan seorang perempuan yang sedang menempuh masa peralihan dari remaja menjadi dewasa, dengan melansungkan pernikahan.
Suntiang Gadang sebutan hiasan kepala bagi mempelai perempuan, suntiang ini memiliki tingkatan-tingkatannya sendiri, jumlah suntiang harus ganjil dengan tingkat tertinggi adalah sebelas tingkat, dan tujuh tingkat paling rendah.
Filosofi suntiang ini adalah berupa gambaran betapa beratnya tanggung jawab yang dipikul oleh seorang perempuan Minang terlebih setelah ia menikah, meliputi keluarga dan lingkungan tempat ia tinggal setelahnya.