“Berarti Leiden hadir sebagai solusi juga, ternyata pelajaran sejarah tidak semembonsankan itu?”
“Benar, banyak hal yang dapat dikemas dalam 443 halaman itu. Salah-satunya bagaimana menjadikan sejarah sebagai pelajaran yang asyik, enak, dan diterima dengan mudah. Pelajaran sejarah saya dulu monoton dan demikian juga dengan bukunya. Leiden sengaja saya tulis setebal kamus (sekitar 800 halaman lebih setelah dicetak) agar menjadi bukti kalau novel sejarah ternyata bisa ditulis dengan cara yang baik, tidak membosankan, dan membuat ketagihan.”
“Itu energinya dari mana, kok bisa menulis Leiden yang ada di Belanda sana. Atau pernah ke Leiden?”
“Belum,” jawab Haris diiringi cekikan. “Saya hanya bermodalkan Google Maps untuk melihat kanal-kanal, rumah, ruangan, restoran, perpustakaan, jalan, katedral yang ada di sana. Hanya itu. Untuk energi rasanya itu masih sedikit, Brom menulis Peterpan juga tidak membosankan, Pramoedya Ananta Toer menulis Epos Arus Balik dengan halaman fantastis rasanya juga masih kurang. Intinya energi dalam menulis itu butuh latihan. Saya dulu sebelum menulis novel juga menulis cerpen, tidak serta-merta terjun ke novel begitu saja.”
“Apakah Leiden akan diterbitkan? Kapan?”
“InsyaAllah, nanti akan dikabari,” jawab Haris karena menurut keterangannya, nama penerbitan masih menjadi rahasia. “Tunggu saja, yang jelas insyaallah diterbitkan.”
(*)