“Jadi orang tua berpengaruh ya untuk perkembangan anak?”
“Wah sangat berpengaruh sekali. Ayah dan ibu saya sepertinya punya kesepakatan khsusus kalau anaknya membaca berarti tidak boleh diganggu. Jadi saat pandai membaca saya tinggal baca buku saja biar tidak disuruh cuci piring, sapu rumah, beres-beres kamar mandi. Dan itu ternyata menjadi habit sampai sekarang,” lanjutnya.
“Kalau awal-awal nulis pernah kepikiran tidak sampai di titik sekarang?”
“Tidak,” jawab Haris. “Naskah Leiden itu sendiri sebenarnya tidak dibuat khusus untuk sayembara, hanya sekedar ingin memberi hadiah saja untuk Indonesia karena isinya tentang betapa kayanya negeri ini tapi disorot dari perspektif orang Belanda. Ketika naskah hampir selesai, saya bertemu kembali dengan seorang guru menulis di D’fanara, beliau menyarankan untuk mengirim naskah ke sana, yang saat itu saya sendiri tidak tahu kalau DKJ adalah event paling bergengsi di tanah air.”
“Oke, lebih spesifiknya Leiden ini menceritakan tentang apa?” lanjut kami mewawancarai.
“Jadi begini, karya sastra itu lahir tidak mungkin dari kekosongan. Dia berangkat dari isu-isu sosial, atau sebuah kritikan terhadap zaman. Misal Sitti Nurbaya, hadir karena zaman itu perempuan-perempuan Minangkabau banyak dipaksa kawin oleh mamaknya sendiri, mamaklah yang menentukan siapa calon yang pas untuk kemenakannya. Pun adat orang Minangkabau kala itu yang beristri banyak masih lumrah. Seperti Salah Asuhan contoh lainnya, lahir sebagai ironi karena pemuda Minangkabau saat itu bersifat kebarat-baratan dan mulai menyimpang dari budaya lokal. Nah, melalui pijakan itulah Leiden hadir sebagai bentuk kritikan terhadap anak muda yang gandrung budaya lain daripada budaya sendiri. Melalui penceritaan sejarah, saya ingin banyak orang menyadari betapa besar potensi Indonesia (Khususnya Minangkabau) dalam ranah sejarah, dan sayang hal tersebut tidak terlalu digalakkan. Barangkali angkatan saya yang terakhir belajar Budaya Alam Minangkabau (BAM) semasa di SD, dan sejak itu keruntuhan akan eksistensi Minangkabau di mata generasi berikutnya hanya sebagai figur belaka. Leiden hadir di sana sebagai kritikan bahwa mempelajari sejarah, sama pentingnya dengan mengetahui siapa ayah dan ibu kita.”
“Kalau membicarakan Minangkabau, mengapa memilih judul Leiden?”
“Saya tidak ingin terlalu menggembor-gemborkan Minangkabau sebagai masyarakat yang beradat, berbudaya, berfalsafah, maka saya mengambil sudut pandang dari orang Belanda. Bagaimana Belanda memandang orang Minangkabau sebagai suku yang banyak akal, pandai bernegosiasi dan kadang-kadang licik. Pemilihan Leiden sebagai judul karena isinya membahas tentang naskah kuno nusantara yang diboyong ke Leiden (perpustakaan Leiden) yang bahkan jumlahnya jauh melampaui koleksi Perpusnas.”