Dharmasraya dengan ibu kota kabupatennya, Pulau Punjung, merupakan kabupaten yang berlokasi di jalur lintas Sumatera, Padang-Pekanbaru dan juga Jambi. Selain itu jalur ini merupakan jalan lintas ke Jakarta.
Saat ini di Dharmasraya, ada 52 nagari dan 11 kecamatan, dengan akses yang cukup jauh ke ibu kota. Kendati demikian seluruh penduduk sudah tercatat secara resmi di dalam data kependudukan Kabupaten Dharmasraya.
Namun ditengah hiruk pikuk dan kesibukan kegiatan perdagangan dan lalu lintas penduduk Kabupaten Dharmasraya, masih terdapat sekelompok orang yang hidup terasing jauh ditengah-tengah hutan, mereka adalah Suku Anak Dalam di Dharmasraya.
Tulisan Hasbunallah Haris yang berjudul Undang-undang Tanjung Tanah dalam Perspektif Filologi Hingga Munculnya Suku Anak Dalam, yang ditulis di Topsumbar.co.id (23/02/2022), Kebudayaan dan pola hidup yang dipeluk oleh Suku Anak Dalam Dharmasraya ini berakar pada Sumpah Suku Anak Dalam yang berbunyi “ka mudiak dikutuak rajo Minangkabau, ka hilia kanai kutuak rajo jambi, ka ateh indak bapucuak ka bawah indak baurek, ditangah-tangah digiriak kumbang.”
BACA JUGA: Undang-undang Tanjung Tanah dalam Perspektif Filologi Hingga Munculnya Suku Anak Dalam
Yang mana dapat diartikan dengan “Ke mudik dikutuk raja Minangkabau, ke hilir dikutuk raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, di tengah- tengah dimakan kumbang”, Namun sayangnya belum ada penjelasan terkait dengan ungkapan ini.
Diketahui suku anak dalam ini bertempat tinggal di hutan Bulangan, Kenagarian Bonjol kecamatan Koto Besar, Data yang didapatkan dari Yayasan Pundi Sumatera yang bisa saja mengalami perubahan sewaktu-waktu, Suku Anak Dalam ini berjumlah 30 orang dengan kepala rombongan bernama Marni.
Lahan ini memang secara sengaja telah disediakan oleh Yayasan Pundi Sumatera yang berada jauh dari permukiman warga setempat, dan harus melewati kebun kelapa sawit milik warga.
Saat ini Suku Anak Dalam di Dharmasraya telah dapat membangun rumah dengan ukuran kecil dan sangat sederhana, berbentuk rumah panggung sejumlah 9 rumah, lengkap dengan lahan untuk mereka bercocok tanam.
Meskipun sudah memiliki rumah, suku anak dalam masih menekuni kebiasaan mereka dalam berburu di hutan, yang dilakukan secara berombongan, sehingga tak jarang rumah yang mereka tinggali kerap dibiarkan kosong hingga berminggu-minggu. Mereka hidup berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain.
Lokasi selanjutnya tempat tinggal suku anak dalam ini ditemukan di Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung, yang dipimpin oleh Bujang sebagai kepala rombongan mereka, dengan beranggotakan 18 orang.
Sedangkan di hutan Banai Kecamatan IX Koto, sebanyak 14 anggota dipimpin oleh kepala rombongan mereka bernama Panyiram.
Lokasi terakhir berada di Nagari Empat Koto Di Atas Kecamatan IX Koto, 19 orang anggota dipimpin oleh Isa. Diketahui di ketika lokasi ini belum ditemukan rumah yang dibangun oleh masyarakat, melainkan mereka hanya membangun tenda sebagai tempat beristirahat mereka selama pergi berburu makanan di hutan.