Oleh: Wilson Lalengke
Jakarta – Lain lubuk lain ikannya, lain kasus lain perlakuannya. Mungkin peribahasa versi modifikasi ini dapat menjadi penggambaran atas nasib para pesakitan di pengadilan, khususnya terkait dua kasus besar yang melibatkan dua perwira tinggi Polri berbintang dua, Ferdi Sambo dan Teddy Minahasa.
Walaupun kedua perwira tinggi itu terlibat dalam kasus yang berbeda, satu pembunuhan dan lainnya kasus narkotika, namun terdapat beberapa persamaan yang semestinya dapat dijadikan pertimbangan dalam memberikan perlakuan kepada para pihak yang terlibat.
Persamaan pertama, tokoh utama di kedua kasus itu sama-sama pimpinan tertinggi di unit atau satuan kerja masing-masing. Irjenpol Ferdi Sambo sebagai Kepala Divisi Propam Polri, sementara Irjenpol Teddy Minahasa sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur (walau belum sempat dilantik – red) yang sebelumnya menjabat Kapolda Sumatera Barat. Kekuasaan dan kewenangan keduanya dipandang sangat powerful, hampir mustahil dilawan oleh jajaran di bawahnya.
Persamaan kedua, kasus ini menjadi tontonan publik se-Indonesia. Persidangannya transparan dan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi nasional dan internasional. Hampir tidak ada celah bagi setiap pihak yang terlibat dalam persidangan-persidangan melakukan manuver di luar koridor hukum.
Rasa keadilan publik yang disuarakan melalui berbagai media dan saluran yang tersedia perlu mendapatkan ruang yang patut dalam proses pengambilan kebijakan dan keputusan pihak terkait.
Persamaan ketiga, disamping melibatkan warga sipil, dalam kedua kasus ini juga melibatkan anak buah dari masing-masing jenderal polisi itu. Para polisi aktif yang masuk dalam lingkaran kasus ini merupakan orang-orang terdekat yang secara hirarki dapat diperintah oleh masing-masing atasannya.
Relasi kuasa amat berperan bagi para pihak yang terlibat perkara dalam bersikap dan berperilaku di kedua kasus itu.
Persamaan keempat, kedua jenderal diduga kuat memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan fakta terkait tindakan pidana yang disangkakan dan didakwakan kepada keduanya.
Hal itu pada hakekatnya merupakan sesuatu yang wajar, karena kedua jenderal itu tentunya ingin lepas dari jeratan hukum. Ibarat ungkapan populer di masyarakat: jika semua pencuri mengaku, pasti sudah penuh sesak penjara di negeri ini.
Persamaan kelima, kasus pidana yang melibatkan oknum elit Polri itu dapat dibuka secara terang-benderang tidak terlepas dari peran sentral dari para ‘penghianat’ yang oleh penegak hukum justru dipandang sebagai justice collaborator.
Orang-orang jujur yang bersedia mengorbankan dirinya dengan menjadi penghianat itu adalah dari anggota polri yang terlibat langsung dalam peristiwa pidana yang disangkakan kepada kedua jenderalnya.
Pada kasus yang melibatkan orang-orang kuat seperti Ferdi Sambo dan Teddy Minahasa, aparat penegak hukum sangat membutuhkan orang-orang jujur dan berani mengambil resiko terburuk bagi dirinya.
Tanpa peran Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu, hampir mustahil kejahatan Ferdi Sambo dapat dibuka secara gamblang.
Demikian juga pada kasus yang melibatkan Teddy Minahasa, hampir mustahil tebuka ke publik jika bukan karena peran tersangka lainnya, yakni AKBP Dody Prawiranegara, plus Linda Pujiastuti.
Tiba pada poin ini, kita tersentak ketika mengetahui bahwa permohonan Dody dan Linda untuk mendapatkan pelayanan hukum dalam bentuk perlindungan saksi dan korban dari negara tidak semulus yang didapatkan Richard Eliezer. Hingga saat ini, permohonan keduanya ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) belum direspon dengan semestinya.
Dari penuturan keduanya kepada penulis, mereka sungguh berharap bahwa negara tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada warga negaranya. Keduanya tidak meminta untuk lepas dari jeratan hukum atas keterlibatan mereka dalam kasus yang tidak mereka inginkan itu.
Namun, kejujuran dan keberanian Dody maupun Linda dalam membuka fakta terkait tindak kejahatan narkotika yang melibatkan petinggi Polri, Teddy Minahasa, semestinya mendapat penghargaan dari negara dalam bentuk perlindungan hukum atas keduanya.
Sebenarnya, kuranglah elok membandingkan dua kasus ini, baik dalam konteks jumlah pelaku dan korban maupun konten moralitas yang termaktub di dalamnya.
Namun, tidaklah juga patut untuk menihilkan dampak dari perlakuan yang berbeda atas kedua kasus itu.
Pendekatan berikut kiranya dapat menjadi masukan bagi semua pihak, terutama bagi negara, lebih khusus lagi LPSK, agar pelayanan hukum dan pemberian keadilan bagi setiap warga negara dapat mendekati wujud idealnya.
Tidak seperti kasus Ferdi Sambo yang memakan korban seorang polisi terbunuh, di kasus Teddy Minahasa memang tidak ada korban jiwa. Tapi perlu disadari bahwa jutaan rakyat Indonesia telah menjadi korban peredaran narkoba yang marak selama ini.
Berdasarkan data yang ada, pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5 juta orang dengan prevalensi yang cenderung meningkat setiap tahun, mencapai sekitar 2 persen.
Kondisi itu tak dapat dipungkiri telah menimbulkan masalah nasional yang rumit dan sulit. Demikian kompleksnya persoalan narkoba ini hingga Pemerintahan Joko Widodo menetapkan negara dalam keadaan darurat narkoba. Untuk itu Pemerintah menganggarkan triliunan rupiah setiap tahun bagi upaya pemberantasan dan penanggulangan narkoba.
Langgengnya perdagangan narkotika itu ternyata melibatkan oknum aparat Polri setingkat Kapolda dengan pangkat Inspektur Jenderal. Setidaknya hal ini terlihat dari hasil penyelidikan dan penyidikan polisi atas peran Teddy Minahasa, diperkuat dengan dakwaan Jaksa serta penggalian fakta-fakta di persidangan perkara tersebut.
Peran anak buah Teddy Minahasa yang mantan Kapolres Bukitinggi, Dody Prawiranegara, tak pelak telah membuka mata kita bahwa desas-desus keterlibatan oknum aparat Polri selama ini dalam kasus narkotika telah terbukti benar adanya.
Keterangan dan informasi yang disampaikan Linda Pujiastuti turut memperkuat fakta bahwa oknum perwira tinggi Polri itu terkait erat dengan kejahatan narkotika selama ini.
Bila saja kedua tersangka ini tidak ‘menyanyikan lagu berjudul narkoba milik Teddy Minahasa’, maka sang perwira tinggi Polri itu dapat saja melenggang bebas dari hukuman. Jika ini terjadi, sangat mungkin dia akan kembali ke habitatnya sebagai aparat pedagang narkoba. Bahkan, bisa lebih hebat dan ganas dari sebelumnya.
Jika asumsi ini boleh dikembangkan lebih lanjut, maka kita dapat saja mengatakan bahwa akan ada berjuta-juta orang lagi di negeri ini yang jatuh ke dalam lembah nista penyalahguna narkoba.
Oleh karena itu, sungguh amat penting artinya nilai keberanian dan kejujuran dua ‘Eliezer’, Dody dan Linda, di kasus narkotika Teddy Minahasa. (*)
Penulis: Wilson Lalengke, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012