Sijunjung | TopSumbar – Ribuan orang berziarah di makam Syech Abdul Wahab yang beralamat di Calau, Muaro Sijunjung pada Rabu (1/3).
Jemaah yang datang berziarah ke makam Syech Abdul Wahab berasal dari berbagai penjuru Sumatera Barat bahkan ada yang datang dari provinsi tetangga seperti Riau dan Jambi.
“Rombongan jemaah mulai berdatangan pada sore hari hingga tengah malam dan ini telah berlangsung semenjak bulan Rajab sampai akhir Sya’ban nanti” ujar seorang pedagang yang dijumpai di Pasar Jumat, Muaro Sijunjung.
Tak dilewatkan begitu saja, ribuan wisatawan religius yang berziarah ini dimanfaatkan oleh para pedagang yang menawarkan beraneka dagangan berupa sawo, kerupuk, mie, dan minuman.
Bahkan para petugas parkir, petugas toilet dan ojek juga terlihat panen rezeki dengan adanya agenda rutin para peziarah yang mengunjungi objek wisata religius yang telah dilindungi Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar ini.
Selain makam Syech Abdul Wahab di Surau Tenggi Calau, objek wisata religi lainnya yang juga ramai dikunjungi para peziarah yaitu makam Syech Malin Bayang di Surau Simaung (Sijunjung) dan makam Syech M. Yasin (Tanjung Ampalu).
Diketahui, Minangkabau dikenal sebagai salah satu wilayah di Nusantara yang menjadi “lumbung emas” kekayaan manuskrip Islam Melayu Nusantara, seperti yang terdapat di Surau Tenggi Calau.
Surau Tinggi Calau berada di sebuah kompleks surau yang dinamakan “Kompleks Kampung Calau”. Sekilas tidak terllihat bahwa ini adalah sebuah bangunan ibadah, karena berbeda dengan bangunan surau atau masjid pada umumnya yang memiliki atap berbentuk limas atau tumpang atau beratap kubah, bangunan ini berbentuk Rumah Gadang dengan atap bergonjong 4.
“Calau” berarti parit atau tanah yang digali, nama ini diberikan oleh Syekh Abdul Wahab untuk membatasi tanah ulayat kampung pada sisi utara dengan komplek kampung ‘Calau’ saat ini.
Semenjak itu, kompleks perkampungan ini disebut komplek Kampung Calau karena memang komplek Kampung Calau ini dikelilingi oleh parit. Menurut informasi pengurus Kompleks Kampung Calau, surau yang sekarang merupakan surau yang telah dibangun ulang setelah surau yang sebelumnya dibakar pada waktu penjajahan Jepang.
Pembangunan surau ini berlangsung secara bertahap, hal ini ditandai dari tulisan yang terdapat pada dinding dan lesplang bangunan. Pada lesplang sisi timur terdapat tulisan arab jawi “7 Muharram 1374 H” yang menandakan pembangunan atap.
Pada dinding sisi selatan terdapat angka bertuliskan seperti gambar di bawah yang berarti 15 Rajab 1391 H menandai pemasangan dinding sisi selatan.
Di Surau Tenggi Calau banyak dijumpai naskah-naskah yang sangat langka yang dapat memperkaya khasanah pernaskahan nusantara. Isi naskah yang terkandung di dalamnya sangatlah beragam dan bernilai.
Terbukti bahwa dari 99 bundel manuskrip Islam di Surau Calau, sejumlah teks penting berbahasa Melayu Minang, yang beberapa di antaranya sangat lokal dan sulit dijumpai di wilayah lain yang berbeda konteksnya, ada di surau ini, seperti Nazam Ulakan, Silsilah Syattariyah Surau Tinggi di Calau, Ajaran Tuanku Abdurrahman al-Syattari, Hikayat Sijunjung, Kaji Tubuh, Syair Johan Perkasa Syah Alam dari Paninjauan, Surat Tuanku Pamansiangan, dan beberapa lainnya, di samping tentu saja teks-teks Melayu asal wilayah lain, terutama Aceh, yang menggambarkan kuatnya jaringan keilmuan Minangkabau dengan para ulama Aceh abad sebelumnya.
Beberapa teks yang dijumpai dalam kategori ini antara lain Syair Dagang karya Hamzah Fansuri, Jawhar al-Haqa’iq karya Syamsuddin al-Sumatra’i, Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi karya Abdurrauf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, dan beberapa lainnya (Oman Fathurahman: Manuskrip dan Penguatan Kajian Islam Asia Tenggara, 2015). (AG)