Catatan: Kamsul Hasan, SH, MH
Sebelum membahas soal sengketa isi siaran, sebaiknya pahami dulu apa yang dimaksud penyiaran dalam hukum Indonesia.
Penyiaran saat ini sudah berkembang pesat, bukan hanya berbasis terestrial saja tetapi juga streaming
Perbedaan yang pokok adalah penyiaran terestrial gunakan frekuensi publik yang terbatas baik dalam bentuk analog maupun digital mulai Tahun 2022.
Penggunaan frekuensi yang terbatas itu membuat penyiaran terestrial memerlukan izin dan diawasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen.
Tugas dan kewenangan KPI antara lain membuat P3 SPS dan sekaligus mengawasi serta dapat menjatuhkan sanksi administrasi sesuai UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Penyiaran streaming yang saat ini berkembang pesat tidak gunakan frekuensi publik tetapi gunakan jaringan internet sehingga tidak termasuk objek UU Penyiaran sehingga tak diawasi KPI.
Status penyiaran streaming ada yang masuk kategori pers tetapi lebih banyak sebagai media sosial karena dikelola tanpa badan hukum perusahaan pers Indonesia.
Sebab itu bila masyarakat merasa dirugikan oleh konten atau pemberitaan penyiaran harus diteliti dahulu status lembaga penyiarannya.
1. Apakah penyiaran terestrial yang gunakan frekuensi publik ?
2. Atau masuk kategori penyiaran streaming yang gunakan jaringan internet.
A. Streaming berbadan hukum pers ?
B. Streaming non pers yang tidak berbadan hukum pers.
Indonesia dalam menyelesaikan sengketa hukum komunikasi memiliki setidaknya tiga UU yang subjek hukumnya berbeda-beda. UU Pers digunakan apabila salah satu pihak berstatus sebagai perusahaan pers.
Sistem pertanggungjawaban sebagaimana diatur Pasal 12 UU RI No 40 tahun 1999 tentang Pers adalah pertanggungjawaban fiktif. Ancaman terhadap perusahaan pers hanya pidana denda.
Berbeda dengan UU Pers, UU RI No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pertanggungjawaban hukumnya dibebankan kepada pemegang izin frekuensi. Itu sebabnya Hary Tanoe pernah dilaporkan ke polisi oleh KPI Pusat.
Ancamannya pun berbeda kalau UU Pers hanya pidana denda untuk penanggung jawab. UU Penyiaran mengancam dengan pidana kurungan dan atau denda. Bahkan pidana sampai lima tahun penjara.
Sedangkan delik komunikasi yang tidak diatur oleh UU Pers dan atau UU Penyiaran, maka dia diselesaikan dengan UU lainya, seperti KUHP, UU ITE, UU Pornografi dll. Sistem hukumnya pun bersifat air terjun, dengan subyek hukum setiap orang.
Isi Siaran Bermasalah
Semalam berkembang diskusi bagaimana penyelesaian hukum terhadap isi siaran yang bermasalah. Apakah menggunakan UU Pers, UU Penyiaran atau UU lainya seperti KUHP, UU ITE dll.
Sebelum diskusi memasuki topik utamanya. Saya mengingatkan, bahwa dalam UU Penyiaran terdapat dua macam sanksi. Sanksi administratif bisa langsung ditegakkan oleh KPI berdasarkan pelanggaran P3 dan SPS.
Bentuk sanksi teguran lisan, peringatan tertulis 1, peringatan tertulis 2, penghentian tayangan sementara dan penghentian tayangan tetap.
Tayangan Silet Selebritis di RCTI pernah mengalami disanksi oleh KPI dan kasusnya juga dilaporkan kepada polisi oleh KPI Pusat. Kasus ini menggunakan UU Penyiaran sehingga yang dilaporkan pemegang izin frekuensi.
Kasus penyiaran lainnya adalah Pesbukers ANTV, pelaporannya seorang dokter memilih lawan hukum pengisi siaran Olga Syahputra, sehingga yang digunakan bukan UU Penyiaran tetapi KUHP Jo UU ITE.
Bagaimana apabila ada yang merasa dirugikan melalui penyiaran streaming ? Bila lembaga penyiaran streaming melekat pada perusahaan pers tetap mengacu kepada UU Pers.
Namun apabila siaran streaming non pers maka yang digunakan KUHP, UU ITE, UU lainya sesuai materi hukum yang dilanggar.
(Jakarta, 16 Maret 2023)
Kamsul Hasan merupakan Ahli Pers, Ketua Bidang Kompetensi PWI Pusat, Dosen IISIP Jakarta, dan Mantan Ketua PWI Jaya 2004-2014