Sumatera Barat | Topsumbar – Bertempat di Ruang Sidang Utama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Barat, Rabu, (11/01) dilaksanakan Seminar Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Tata Kelola Komoditi Unggulan Perkebunan, yang diikuti oleh Asosiasi Perkebunan yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Acara dibuka oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat, H. Suwirpen Suib, S.Sos, dan dilanjutkan dengan penyampaian makalah oleh Kementerian Pertanian Republik Indonesia via zoom meeting, Agnes Verawaty Silalahi, SP, MSC dan dilanjutkan pemaparan makalah oleh Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Dr. Ir. Indra Dwipa, MS.
Dr. Ir. Indra Dwipa, MS menjelaskan dengan sangat rinci tentang komoditi kakao, sawit, gambir, dan karet yang merupakan komoditi terbaik dan unggul di wilayah Sumatera Barat.
“Pada akhir tahun 200-an dan tahun 2010-an awal, kakao Sumbar menjadi primadona dengan harga yang cukup tinggi dan bahkan juara II Internasional untuk tingkat kualitas terbaik dunia,” ujarnya.
Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andalas tersebut juga menjelaskan bahwa sawit pun pernah menjadi primadona dengan nilai harga tertinggi, yaitu di atas empat ribu rupiah. Tak kalah dengan karet dan gambir yang masuk dalam salah satu tanaman yang sangat subur di wilayah Sumatera Barat.
“Bapak-bapak dan Ibu sekalian, kita tentu bangga dengan kesuburan dan kadar hujan yang sangat memadai di wilayah ini. Bicara soal gambir, 80% kebutuhan gambir dunia itu berasal dari Sumbar, kita tidak main-main dengan hal ini, tinggal lagi bagaimana kita mempertahankan dan meningkatkan kualitas yang telah ada ini, apa itu tentang edukasi petani dan hal lainnya yang nanti akan kita lakukan.”
Saat tanya jawab berlangsung, Asosiasi Pertanian/perkebunan yang turut hadir dalam seminar menyayangkan bahwa harga dari komoditi-komoditi tersebut masih ditetapkan oleh tauke, padahal dalam sistem jual beli ada harga kesepakatan antara kedua belah pihak bukan hanya dari satu pihak saja.
“Tauke itu yang menentukan harga kalau setuju mereka ambil dan kalau tidak yasudah. Nah, ini dalam konsep jual beli tidak ada, seharusnya dalam sistem jual beli terjadi transaksi tawar-menawar yang berujung kepada kesepakatan kedua belah pihak, bukan hanya menguntungkan satu pihak,” ujar perwakilan dari salah satu Asosiasi.
“Kita berharap adanya pengesahan peraturan daerah yang menetapkan harga tiap komoditi sehingga tidak terjadinya keuntungan yang sangat besar di salah satu dua pihak,” lanjutnya.
Asosiasi lain pun menanggapi dengan permasalahan yang tak kalah pentingnya, yaitu tentang harga pupuk yang kelewat mahal sementara harga jual sangat rendah.
“Bagaimana mungkin kita mempertahankan satu komoditi sedangkan kita tak memberi kemudahan kepada para petani, misalkan saja kakao, sekarang kakao sudah menurun dan orang-orang mulai beralih ke tanaman lain karena dianggap terlalu sulit merawatnya dan harga jual yang rendah. Nah, kita harus hadir di sana dan mengedukasi para petani karena seperti yang telah dijelaskan tadi kualitas kakao kita itu terbaik dunia. Jadi jangan sampai petani-petani kita tak mendapatkan untung apa-apa selain keringat mereka sendiri.”
Hadir dalam seminar tersebut, Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Agnes Verawaty Silalahi, SP, MSC, Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat, H. Suwirpen Suib, S.Sos, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andalas, Dr. Ir. Indra Dwipa, MS, dan sejumlah Asosiasi Pertanian/perkebunan yang ada di wilayah Provinsi Sumatera Barat.
(Ha)