Kajian Jumat Oleh: Amri Zakar Mangkuto Malin, SH, M.Kn
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه ُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد
قال الله تعالى: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.
Pembaca Topsumbar yang setia dengan keimanan dan senantiasa merindukan kebenaran senantiasa tersampaikan ketika ada yang menggantinya dengan kesalahan dan menyembunyikan dibalik penampilan dan jabatan serta kepopuleran.
Pada kajian Jumat ini, pembaca Topsumbar akan diajak untuk menemukan hukum atas bagaimana hukumnya ANTARA SUAMI MEMANGGIL PAPA KE SUAMI ATAU ISTERI MEMANGGIL MAMA KE SUAMI?
Ibnu Taimiyah berkata,
وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ
“Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah selama tidak ada yang dilarang oleh Allah di dalamnya”.
Dalam hal ini apakah ada larangan panggilan dan suruhan panggilan antara suami dengan isteri?
Secara umum panggilan untuk sesama manusia adalah disertai DENGAN KASIH SAYANG.
Sebagaimana dalam hadist Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا
“Tidak termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang kecil di antara kita dan tidak menghormati yang lebih tua di antara kita.” (HR. Tirmidzi).
Dengan ketentuan ini panggilan antara suami dan isteri adalah panggilan menghormati suami dan menyayangi isteri.
Tentu setiap daerah mempunyai budaya panggilan ke yang lebih tua, seperti di Padang, Sumatera Barat ada panggilan kepada yang lebih tua UDA DAN UNI atau ditempat lain mungkin ada panggilan terhadap yang tua dan yang kecil.
PANGGILAN PAPA DAN MAMA COCOKNYA BUAT PANGGILAN ANAK KEPADA ORANGTUA YANG MELAHIRKANNYA.
Sering diantara suami isteri di era sekarang memanggil suami dengan sebutan PAPA, AYAH, ABI dan isteri dipanggil dengan sebutan MAMA, BUNDA, UMI Dsb.
Tentunya panggilan tersebut lebih tepat dilakukan oleh ANAK ANAK KEPADA ORANGTUANYA bukan oleh suami kepada isteri atau sebaliknya.
MENGAJARI ANAK DENGAN PANGGILAN PAPA DAN MAMA DAPAT MENJADIKAN ORANGTUA BERBUAT ZIHAR
Tentunya hal ini perlu dikaji lebih serius, apa tujuan suami memanggil mama ke isteri dan apa tujuan isteri memanggil papa ke suami?
Ada yang beralasan untuk mengajari anak-anak, padahal anak tanpa diajari akan tetap memanggil papa dan mama ke ayah dan ibunya walau si suami memanggil nama atau dengan panggilan sayang dll.
Jadi alasan untuk mengajari anak mungkin kurang tepat digunakan, sebab jika untuk mengajari anak tentu hanya di depan anak-anak saja panggilan itu, tetapi kadang dimana-mana tetap dengan panggilan papa dan mama.
Maka dalam firman Alloh SWT disebutkan ada orang yang mempergunakan perkataan tak berguna sebagai olok-olok atas HUKUM ALLOH SWT, padahal antara suami dengan isteri jelas hubungan dan panggilannya, sehingga bukanlah sebagai papa/ayah atau sebagai mama atau ibu, sehingga jangan sampai sesuatu yang sudah diatur oleh Agama diubah dengan budaya dan keinginan manusia. Sebab kekeliruan itu dapat mendatangkan azab bagi pelakunya.
Menganggap isteri sebagai ibunya atau sebaliknya menggap suami sebagai bapaknya,adalah dilarang oleh Alloh SWT sebagaimana firmannya pada Surat Al-Mujadalah Ayat 2 :
ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمْ ۖ إِنْ أُمَّهَٰتُهُمْ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔى وَلَدْنَهُمْ ۚ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ ٱلْقَوْلِ وَزُورًا ۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Abu Daud dengan sanadnya dari Abu Tamimah Al-Juhaimi, “Ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, ‘Wahai Ukhti!’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah istrimu itu saudarimu?’ Beliau membencinya dan melarangnya.” (HR. Abu Daud: 1889).
Demikian pula istri, sebaiknya tidak memanggil suaminya dengan panggilan “Abi” (yang berarti “ayahku”) atau “Akhi” (yang berarti “saudara laki-lakiku”), tetapi panggil nama aslinya dan lebih utama dipanggil dengan nama kunyah atau gelarnya seperti Abu Muhammad, baik dia mempunyai anak yang bernama Muhammad maupun tidak, karena memberi kunyah atau julukan adalah sunnah, seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seorang anak perempuan kecil dengan panggilan “Ummu Khalid”. (HR. Bukhari: 18/141).
PANGGILAN KEKUFURAN DALAM ISLAM
Panggilan kekufuran itu adalah panggilan yang dilarang untuk dilakukan pemanggilan oleh seseorang kepada orang lain dengan panggilan yang tidak berguna, sebagaimana firman Alloh SWT:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan” [Q.S. Lukman (31): 6].
Dan sebagai contoh panggilan yang dilarang adalah seseorang memanggil BAPAK kepada orang lain dan menyatakan orang itu adalah bapaknya dan ternyata orang itu bukan bapaknya atau sebaliknya.
Menganggap orang lain sebagai bapak (padahal itu bukan bapaknya).
Hal ini dilarang dalam hadist berikut:
“Tidaklah seorang laki-laki yang mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal ia telah mengetahuinya (bahwa dia bukan bapaknya), maka ia telah kafir. Barangsiapa mengaku sesuatu yang bukan miliknya maka ia bukan dari golongan kami, dan hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka. Dan barangsiapa memanggil seseorang dengan kekufuan, atau berkata, ‘Wahai musuh Allah’ padahal tidak demikian, kecuali perkataan tersebut akan kembali kepadanya.” (HR. Muslim).
PANGGILAN YANG DIPERBOLEHKAN ANTARA SUAMI DENGAN ISTERI
Pertama
PANGGILAN DENGAN ISTILAH SEBUTAN TERTENTU (panggilan kasih sayang).
Dari Aisyah RA istri Nabi SAW, ia berkata, “Orang-orang Habasyah masuk masjid dan menunjukkan atraksi permainan, lalu Rasulullah SAW. bersabda kepadaku, ‘Wahai Humaira,’ apakah engkau mau melihat mereka?” Aisyah menjawab, “Iya.” Maka Nabi SAW berdiri di depan pintu, lalu aku datang dan aku letakkan daguku pada pundak Rasulullah SAW dan aku tempelkan wajahku pada pipi beliau. Lalu ia mengatakan, “Di antara perkataan mereka tatkala itu adalah, Abul Qasim lakukanlah kebaikan kepada kami.” Lalu Rasulullah SAW mengatakan, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?.” Ia menjawab, “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah.” Maka beliau pun tetap berdiri, Lalu Nabi SAW mengulangi pertanyaannya, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Namun Aisyah tetap menjawab, “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah SAW.” Aisyah mengatakan, “Sebenarnya bukan karena aku senang melihat permainan mereka, tetapi aku hanya ingin memperlihatkan kepada para wanita bagaimana kedudukan Nabi SAW terhadapku dan kedudukanku terhadapnya.” (HR An Nasa’i).
Kedua
PANGGILAN IBU DIIKUTI NAMA ANAK
Sebagaimana firman Alloh SWT:
{وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}
“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).
Maka panggilan kepada anak angkat dipanggil nama anak diikuti nama ayah kandungnya, dan demikian juga oleh suami ketika memanggil ibu ke anaknya ikuti dengan nama anaknya misal IBU SALMAH (artinya suami memanggil ibu ke isteri karena nama anaknya adalah Salmah).
Atas panggilan ini Alloh SWT juga menegaskan bahwa TIDAK ADA UMAT yang menganggap Rasulullah itu adalah BAPAKNYA atau KAKEKNYA tetapi yang dibolehkan adalah menjadikan Rasulullah itu SEBAGAI RASULULLAH PENUTUP PARA NABI. Sebagaimana firman Alloh SWT:
{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS al-Ahzaab: 40)”2.
MEMANGGIL ANAK ANGKAT DENGAN MENYEBUT NAMANYA DIIKUTI NAMA BAPAKNYA
Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
{ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا}
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang kamu salah padanya, tetapi (yang ada dosanya adalah) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS al-Ahzaab: 5).
KETAULADANAN PANGGILAN DALAM ISLAM MENURUT ALQURAN
KETAULADANAN KELUARGA NABI YUSUF
(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku (yā abati), sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.” (QS Yusuf ayat 4).
KETAULADANAN KELUARGA IBRAHIM
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku (ya bunayya) sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.” Ia menjawab: “Hai bapakku (ya abati), kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS As Saffat ayat 102).
Dengan ketentuan tersebut di atas hendaknya setiap suami dan isteri mulai berbenah diri untuk dalam panggilan terhadap pasangan dan anak termasuk panggilan terhadap orang lain, jangan sampai orangtua dimintai pertanggungjawaban sang anak di akahirat karena SALAH MENGAJARKAN PANGGILAN KEPADA ANAK-ANAKNYA SELAMA DI DUNIA.
NUUN WALQOLAMI WAMA YASTHURUN.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
(Sukabumi, Jumat, 11 November 2022)
Penulis merupakan seorang pendakwah, dosen, penulis buku dan praktisi hukum