Top Sumbar | Seni Budaya – Nama Dharmasraya, atau Dhammasaraya, atau Melayupura, atau Swarnabhumi, dua kali disebut-sebut dalam naskah Undang-Undang Tanjung Tanah yang ditulis oleh Kuja Ali, naskah beraksara incung tersebut memuat aturan-aturan yang harus dijalankan dalam sebuah sidang tinggi bernama Sidang Mahatmia.
Di tahun 2002, Uli Kozok, seorang peneliti budaya, peneliti aksara dan peneliti sastra Batak berkebangsaan Jerman bersinggungan langsung dengan naskah ini (Tanjung Tanah) penelitiannya menghasilkan sebuah buku berjudul The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript (Kitap Undang-undang Tanjung Tanah Naskah Melayu yang Tertua) secara nyata mematahkan klaim sebelumnya yang mengatakan bahwa naskah surat raja Ternate adalah naskah Melayu tertua.
Namun Uli Kozok bukanlah orang pertama yang meneliti naskah tersebut, di tahun 1941, Petrus Voorhoeve yang merupakan seorang ahli bahasa Belanda menemukan naskah tersebut di tangan penduduk setempat dan langsung didaftarkan oleh sekretarisnya dengan nomor 252 di dalam Tambo Kerinci. Barulah pada tahun 2002, Uli Kozok membawa sampel naskah tersebut ke Wellington, Selandia Baru, untuk diperiksa di laboratorium menggunakan metode penanggalan radiokarbon (carbon dating) dan mengumumkan bahwa berdasarkan uji radiokarbon di labolatorium Rafter menghasilkan umur radiokarbon 553 ± 40 tahun before present (BP) yang sama dengan tahun 1397 M ± 40 tahun (1357 – 1437 M) Itu berarti naskah kuno Undang-undang Tanjung Tanah secara mengejutkan menjadi naskah Melayu tertua di dunia.
Pada Oktober tahun 2004, Naskah Tanjung Tanah telah diteliti oleh Tokyo Restoration & Conservation Center dan hasilnya menunjukan bahwa bahannya adalah daluang (Broussonetia papyrifera) yang juga disebut dluwang atau daluwang, merupakan salah satu bahan yang telah digunakan sejak dahulu sebagai kain (tapa) atau sebagai bahan tulis.
Di sisi lain, sumber tentang kerajaan Dharmasraya dan munculnya ekspedisi Pamalayu adalah kitab Pararaton (1600 M) yang memaparkan tentang perjalanan orang-orang Singosari ke pulau Andalas (Sumatra) untuk “menundukkan” kerajaan Melayupura. Namun sumber dengan narasi penaklukan sangatlah lemah untuk kita gunakan karena Pararaton sendiri adalah sebuah karya sastra sejarah yang kurang bisa dipegang kebenarannya. Hal tersebut terbukti dengan narasi-narasi fiksi di halaman awal tentang perjalanan hidup Ken Arok. Selain itu naskah Pararaton memang dikhususkan untuk Ken Arok, dengan judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah tersebut yaitu: Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok, atau Kitab Raja-raja atau Cerita Mengenai Ken Arok.
Bagaimana Pamalayu Bermula?
Semuanya bermula saat Kubilai Khan berkeinginan untuk menguasai Nusantara (Indonesia-Malaysia-Singapura sekarang) dan menjadikannya sebagai anak imperium Mongol. Pada masa itu Kubilai Khan sudah mendengar kabar tentang negeri rempah-rempah yang sangat kaya. Hingga pada masa itu orang-orang memiliki semboyan “Siapa yang bisa menemukan negeri rempah berarti bisa mencekik Venesia”. Kubilai Khan pun mulai mengirimkan utusannya pada tahun 1280, 1281, 1286, dan terakhir tahun 1289. Namun sayang tak satupun di antara raja-raja Jawa dan Sumatra yang mau mengakui kekuasaan Kubilai Khan, bahkan utusannya yang terakhir, Meng Qi atau Men Chi dipotong telinganya sebagai isyarat bahwa Kertanegara menantang kekuasaan Kubilai Khan.
Dalam salah satu sumber sejarah disebutkan bahwa sebetulnya Kertanegara takut dengan serangan Kubilai Khan, untuk itulah dia mengutus Kebo Anabrang dan pasukan Singosari berlayar ke pulau Sumatra guna meminta sekutu kepada Melayu Dharmasraya yang saat itu naik daun setelah pendahulunya (Sriwijaya) runtuh karena diserang oleh Rajendra Cola II tahun 1025. Ekspedisi itulah yang disebut sebagai Ekspedisi Pamalayu yang terjadi tahun 1286.
Pararaton menyebutkan bahwa saat itu istana negara nyaris kosong karena prajurit Singosari berangkat ke Sumatra. Hal tersebut wajar saja karena Dharmasraya bukanlah daerah yang berada di pesisir pantai hingga dapat dicapai dengan mudah. Dalam keterangan Mid Jamal yang menulis buku Tambo Alam Minangkabau menyebutkan bahwa kedatangan prajurit Singosari adalah untuk meminta Melayu Dharmasraya bersekutu menghadapi serangan Kubilai Khan dan itu pun terlaksana. Saat Kertanegara menghadiahkan archa Amoghapasa kepada Tribuana Raja Mauli Warmadewa, saat itu pulalah dua orang putri Dharmasraya diboyong ke Singosari, dialah Dara Petak dan Dara Jingga yang kelak akan melahirkan Arya Adityawarman.
Dalam buku Sumatera Tengah yang dikeluarkan oleh University of Wisconsin disebutkan bahwa Pamalayu adalah ekspedisi yang dilakukan oleh kerajaan Jawa ke Dharmasraya yang mana kala itu berkedudukan di pedalaman Sumatra. Orang-orang Singosari yang datang menggunakan perahu dan terus menyusuri daerah aliran Batanghari. Hal tersebut benar dengan ditemukannya lokasi dua candi yang berada di bantaran sungai, yaitu Candi Padang Roco dan Candi Pulau Sawah.
Pamalayu, sekali lagi mencatat tentang persatuan Nusantara di bawah dua kerajaan besar di dua pulau. Antara Jawa dan Sumatra, antara Singosari dan Dharmasraya. Kini, Pamalayu dikenal lewat festival yang selalu diadakan oleh pemerintah kabupaten Dharmasraya di Provinsi Sumatera Barat dan kenduri Swarnabhumi di Provinsi Jambi. Mengingatkan bahwa dulu pernah terjadi persatuan untuk membendung kekuatan dari Mongol pada abad ke-13.
Penulis
Hasbunallah Haris lahir 29 Maret 2001. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, aktif menulis artikel sejarah dan bergiat di Komunitas Minang Literasi, sebuah komunitas sastra yang ada di Kota Padang. Sangat gemar meneliti benda-benda purbakala. Tulisan-tulisannya mengenai Minangkabau dan sejarah kerajaan Dharmasraya, Mande Rubiah, Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu dapat ditemukan di Topsumbar.co.id. Kamu juga bisa menyapanya di instagram @hasbunallah_haris dan +62 822 8385 5009.