Jakarta | Topsumbar – Anggota Fraksi Partai NasDem DPR RI menerima audiensi Filantropi Indonesia di ruang rapat Fraksi Partai NasDem DPR RI, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/9). Mereka menyampaikan usulan terkait revisi UU No.9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang dinilai sudah usang.
Filantropi Indonesia merupakan perkumpulan organisasi dan individu pegiat filantropi yang mandiri dan bertujuan untuk memajukan filantropi. Dalam kunjungannya kali ini, mereka membawa naskah akademik dan draf yang diberi nama RUU Penyelenggaraan Sumbangan untuk merevisi UU No.9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang.
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Lisda Hendrajoni yang menerima audiensi tersebut menyambut baik dan mengapresiasi upaya pembaruan dasar hukum yang dilakukan Filantropi Indonesia.
“Kita juga menemukan permasalahan di lapangan. Memang perlu penyesuaian menyangkut perubahan zaman, era, pembaruan teknologi yang memang harus disesuaikan, termasuk pengumpulan sumbangan ini,” ujar Lisda seusai menerima audiensi.
Lisda mengatakan, usulan tersebut akan disampaikan kepada Komisi VIII DPR RI, Fraksi Partai NasDem DPR RI, dan Badan Legislasi DPR RI untuk ditindaklanjuti.
“Mereka menyampaikan naskah akademik dan draf RUU tentang Penyelenggaraan Sumbangan. Ini UU lama yang ingin diperbarui. Kalau dilihat dari tahunnya saja, zaman dulu dan sekarang tentu jauh berbeda, terutama sekarang digitalisasi,” imbuhnya.
Legislator NasDem dari Dapil Sumatra Barat I (Kabupaten Pesisir Selatan, Solok, Sijunjung, Tanah Datar, Kepulauan Mentawai, Dharmasraya, Solok Selatan, Kota Padang, Kota Solok, Kota Sawahlunto, dan Kota Padangpanjang) itu menjelaskan beberapa hal yang sudah tidak relevan dan perlu diperbarui dalam UU Pengumpulan Uang atau Barang.
Di antaranya terkait perizinan untuk penggalangan dana yang hanya diberi batas waktu selama tiga bulan. Selain itu juga dengan perizinan yang hanya berlaku di satu daerah, dan jika pengumpulan dananya melingkupi nasional harus meminta izin ke Pemerintah Pusat.
“Kalau sekarang kan bisa secara digital memungkinkan untuk mengumpulkan sumbangan dengan sangat luas, bahkan dari luar negeri. UU yang lama ini izinnya terbagi-bagi. Kalau di kabupaten izinnya ke kabupaten, kalau ingin menjangkau nasional harus lapor ke Pusat. Perizinannya susah,” jelasnya.
Selain itu, imbuh Lisda, Filantropi Indonesia juga menyampaikan terkait dana operasional untuk penyaluran sumbangan yang harus disediakan donatur. Dalam UU yang dipakai saat ini, lembaga filantropi memakai 10% dana yang dikumpulkan untuk operasional.
“Misal kita dapat bantuan, tapi untuk operasional tidak dikasih. Di sini mereka berharap, setiap bantuan harus ada dana operasionalnya sendiri, khusunya untuk hibah. Kalau yang sekarang kan dipotong 10 persen. Tapi mereka berharap aturan ke depan itu pihak pemberi tidak boleh menyusahkan orang yang menerima atau menyalurkan,” tandasnya. (Re)