Padang Panjang | Topsumbar – Ada yang menarik dari sidang perkara perdata proyek pekerjaan pembangunan pedestrian kawasan pasar kota Padang Panjang tahun anggaran 2021 antara Al Furqan, S. Pd Direktur CV. Pengusaha Muda sebagai penggugat dengan tergugat Pemerintah RI, Cq. Menteri Dalam Negeri RI, Cq. Gubernur Provinsi Sumatera Barat, Cq. Walikota Padang Panjang di Pengadilan Negeri Kota Padang Panjang, Rabu (7/9).
Yakni terungkapnya Mutual Check (MC) 0 tidak ditandatangani oleh pejabat pembuat komitmen (PPK). Menurut saksi ahli pengadaan barang/jasa pemerintah Drs. Edi Usman, ST. MT yang dihadirkan oleh penggugat, tidak ditandatanganinya MC-0 oleh PPK pertanda dokumen kontrak (SPK) proyek pekerjaan pembangunan pedestrian kawasan pasar kota Padang Panjang tahun anggaran 2021 cacat hukum.
“Cacat hukumnya SPK adalah murni kesalahan PPK,” ujar Edi Usman saat wawancara bersama awak media seusai sidang.
Lalu ketika kontrak bermasalah, kenapa pekerjaan tetap jalan?
Menurut Edi bermasalahnya kontrak dikarenakan beberapa hal, antara lain PPK tidak ada didampingi advokad, Kontrak tidak pernah dibaca dengan sungguh-sungguh dan tidak meneliti kebenaran isinya.
Padahal didalam kontrak itu berisi pengakuan dan pernyataan diatas materai.
“Kan jadinya pernyataan palsu. Harusnya kontrak itu batal,” ujar Edi Usman yang juga Dosen tetap jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Medan.
Berikut kutipan pertanyaan awak media dan jawaban saksi ahli Drs. Edi Usman, ST. MT.
Ketika kontrak tidak sesuai dengan peraturan menjadi tanggungjawab siapa? PPK atau penyedia.
Ya, PPK karena yang membuat rancangan kontrak adalah PPK. Penyedia hanya meneken kontrak.
Ketika MC- O tidak ditandatangani oleh PPK hingga masa pengerjaan habis. Itu kesalahan siapa?
Ya, kesalahan PPK. Kenapa PPK tidak tegas. Peraturan kan ada. Apakah tidak dibaca atau pura-pura tidak tahu. PPK itu kan punya sertifikat. Begitupun Pokja, pejabat pengadaan. Dan PPK tidak boleh mengatakan tidak tahu, sebab dia itu kompeten.
Ketika masa pengerjaan habis dan progres pekerjaan dihitung PPK 14,47 persen.
Ya, itu kan hitungan sepihak. Terkait kontrak didalam pasal 132 KUHperdata itu harus para pihak. Kalau sepihak itu pemerkosaan namanya. Kontrak itu harus disepakati.
Saya lihat hitungan proges pekerjaan oleh PPK itu belum ditandatangani penyedia. Bearti itu tidak setuju.
Harusnya didatangkan penilai ahli independen, biar fair nilai progres pekerjaan itu dan berapa sebenarnya nilai atau progres pekerjaan dimaksud.
Ini sebenarnya masalah kemauan. Kalau dalam islam disebut Nawaitu. Apa niatnya. Bila dari awal niatnya tidak baik, maka seterusnya juga tidak baik.
Ketika kontrak atau SKK itu cacat hukum, apa yang harus dilakukan?
Yang paling bagus menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 adalah musyawarah. Apalagi Sumatera Barat adatnya dikenal kuat. Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah dan islam mengajarkan kita musyawarah.
Tapi sepertinya hal itu tidak dilakukan. Dari awal sebagaimana informasi yang saya terima para pihak ini perang dingin. Kelihatannya ini sudah salah dari awal. Jadi ini murni kesalahan PPK.
Bila persoalan ini masuk ranah pengadilan Tipikor, yang paling kena itu adalah PPK.
Soal kontrak atau SKK bila dikonstruksi salah, maka yang paling salah adalah PPK. Ibarat benang basah. Bagaimana mungkin benang basah bisa berdiri.
Jadi, kelemahan paling banyak itu ada pada PPK. Kesalahan paling banyak itu PPK. Tanggungjawab paling berat itu PPK. Harusnya PPK lempar handuk.
Kemudian tentang asisten PPK. Menurut Edi, istilah penamaan asisten PPK itu tidak dikenal dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
(Alfian YN)