Oleh : Hasbunallah Haris
Dari Kleine Paterbrug, anak perempuan itu makin mempercepat langkahnya menuju perpustakaan Leiden, dia tidak ingin ketinggalan satu bait pun nasihat dari Professor McGulton yang sangat terkenal itu. Biasanya jam segini dia sudah duduk manis di kursi merah perpustakaan sambil membalik-balik halaman buku Untung yang belum selesai dibacanya. Namun tadi Utari, teman satu kontrakannya meminta tolong antarkan ke Hortus botanicus Leiden dan menunggu lima belas menit untuk bertemu seseorang. Sekarang, mereka tengah berlari melintas kanal-kanal dengan jembatan kecil melengkung yang sudah tua, menyalip beberapa pengendara sepeda santai dan membiarkan seruan orang-orang agar mereka berhati-hati.
Musim semi di Belanda memang sedikit menyenangkan. Mereka dapat menyaksikan kuncup-kuncup bunga tulip yang merekah, salju yang mencair dan beberapa pohon birkin tua yang mulai memunculkan pucuk baru. Bahkan National Tulip Day juga mereka saksikan meski datang terlambat. Semua orang boleh berfoto dengan bunga tulip dan boleh memilikinya, dia tak dapat membayangkan Belanda tanpa tulip, benar-benar tanpa pesona.
“Maaf kami terlambat, Profesor,” ujar Utari sambil menunduk, mencoba mengatur kembali nafasnya yang memburu.
Semua mata teralih pada mereka berdua; Utari dengan jaket musim semi dan ransel kecil di punggungnya, dan Atikah yang mengucir rambut serta masih memakai sepatu musim dingin. Sebenarnya pada awal musim semi cuaca tidak menentu, orang-orang akan sulit mengatur pakaiannya dan sering tertukar.
“Kalian terlambat dua puluh menit,” kata Profesor McGulton mengitari sepasang meja bundar yang mereka gunakan untuk diskusi. “Aku baru saja akan mengumumkan siapa yang akan ikut Nasional History Olympiad bulan depan. Tapi tidak masalah, silakan duduk.”
Keduanya mengambil kursi yang masih kosong dan duduk di sana, ada dua puluh mahasiswa yang ikut kelas Profesor McGulton dan mereka tak terlalu mengambil pusing soal keterlambatan Utari dan Atikah, toh itu adalah kali pertama mereka datang tidak pada waktunya, dan selalu ada kata maaf bagi orang yang mengaku berbuat salah.
“Sekarang aku ingin memberitahu kalian tentang sebuah negeri yang sangat indah, berada pada daerah kepulauan dengan tanaman hijau merambat yang ramah, hewannya berbagai jenis dan orangnya memiliki banyak komoditi yang berharga. Aku ingin kalian tahu tentang Ambas, sebuah negeri gaib yang berada di pedalaman hutan Sumatera …”
“Maaf, Profesor. Apakah itu ada hubungannya dengan materi kita sekarang?” Houtman yang duduk paling ujung mengangkat tangan.
Profesor McGulton melanjutkan penjelasannya, tak mempedulikan mahasiswanya yang menanggapi. Baginya, tanggapan ada setelah pemaparan yang selesai, demikian juga dengan hidup, hari perhitungan ada setelah kita berbuat baik dan berbuat buruk.
“… Marcopolo dalam salah satu catatannya di tahun 1292, menyebutkan tentang kehadiran orang pendek khas Asia. Pada abad ke-17, orang-orang Eropa mulai meneliti tentang kera besar, yang pertama kali dideskripsikan sebagai simpanse, dan di abad ke-18 juga ada beberapa, namun yang paling banyak kutemukan sejak awal tahun 1900-an.” Telunjuk professor McGulton mengarah ke tengah meja, pada sebuah buku besar tua yang terkembang. “Mr. Van her Warden, seorang ahlo zoologi, telah meneliti tentang kahadiran orang-orang kerdil di Taman Nasional Kerinci Seblat. Di tahun yang hampir sama, Sir Frank Sweettenham, melakukan penelitian serupa. Ini adalah W.G Wheatcroft, seorang Antropologi yang menulis sebuah artikel yang berjudul ‘Orang Pendek, The Little Bipedal Hominid of Sumatra’ yang dimuat di portal bigfootencounters.com. Debbie Martyr, seorang konservasionis yang meneliti kehadiran orang pendek di tahun 1989. Dmitri Bayanov, ahli Homologi Rusia, menulis artikel ‘Some Thoughts Regarding Dr. Wilson Wheatcroft’s Overview of Orang Pendek Evidence’ yang mendukung pernyataan Wheatcroft. Terakhir, sumber yang kutemui adalah dari seorang dokter Belanda yang datang ke Batavia di tahun 1826, karyanya yang berjudul ‘Hostoriae Naturalis et Medicae Indiae Orintalis’ adalah yang terbaik, Dmitri mengambil sumber darinya.”
“Kita sedang membicarakan tentang Indonesia, Profesor? Bagaimana mungkin orang-orang itu punya peradaban tinggi?”
Namun Profesor McGulton masih belum menyudahi penjelasannya, dia terus bicara dan menatap mahasiswanya satu-persatu.
“Jeremy Holden, dia didanai untuk meneliti kehadiran manusia kerdil oleh Nasional Geographic Society. Dan ini … bahkan di tahun 2003, Inggris juga melakukan pencarian dengan mengirim Richard Freeman, seorang ahli Kripto yang tersohor namun tak menghasilkan apa-apa.”
Hening. Profesor kembali duduk. “Sekarang kalian boleh bertanya.”
Houtman kembali mengangkat tangan. “Ceritanya terdengar seperti Guliver, Profesor. Aku bahkan tidak dapat menangkap mengapa profesor menjelaskan hal itu pada kami.”
“Memang, Houtman,” jawab professor McGulton tersenyum. “Karena di antara kalian akan diutus untuk mencari kehadiran mereka. kalian akan dibayar penuh untuk penelitian, terbang ke Indonesia dan tinggal di sana selama enam bulan.”
Terdengar beberapa seruan dan gumaman dari mahasiswa yang hadir, semuanya begitu berharap jika merekalah yang akan terpilih. Terbang dan didanai untuk penelitian? Hanya orang bodoh yang tidak menginginkan itu.
“Saat perjalanan ketiga Guliver pada 5 Agustus 1706, dia bertemu dengan sebuah kota terapung di langit yang kemudian diberinya nama Laputa. Yang diceritakan bahwa hantu-hantu yang tinggal di sana adalah orang-orang besar seperti Julius Caesar, Aristoteles, Homer dan lain-lain. Nah, bagaimana menurut kalian, tertarik?”
“……”
“……….. ……”
“……………………………….”
Tulisan ini sengaja dibuat setengah jadi, agar mereka yang punya rasa penasaran menelusuri seorang diri. Mereka yang tercerahkan, mereka yang memecahkan misteri.