SIMPANG AMPEK | TOP SUMBAR–Pasca dicabutnya larangan ekspor minyak mentah kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) oleh Pemerintah Pusat, secara berangsur kekisruhan penetapan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani mulai mereda di beberapa daerah.
Penelusuran wartawan.di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, untuk hasil panen masyarakat yang memiliki kemitraan dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit, saat ini sudah dipatok sebesar Rp 3,000,- lebih untuk perkilo TBS.
Namun, ketidakstabilan harga masih terjadi di tingkat petani non kemitraan dengan perusahaan dengan besaran perbedaan hampir 100 persen yakni Rp 1,500 lebih perkilo TBS.
Kepala Dinas Perkebunan setempat, Edrizal, ketika dikonfirmasi di ruangannya, Senin (06/07), mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan koordinasi dan pemantauan terkait kondisi terkini harga TBS petani.
“Memang ditemukan perbedaan harga TBS yang cukup jauh antara petani yang memiliki kemitraan dengan non kemitraan, ” ungkapnya.
Berdasarkan hasil monitoring pihaknya, perbedaan tersebut salah satunya dipicu oleh adanya rantai pemasaran yang cukup panjang bagi petani non kemitraan, karena harus menjual hasil panen mereka ke pihak pengumpul dengan harga yang tidak standar.
Sementara, lanjutnya, petani yang mempunyai kelembagaan dan bermitra langsung dengan perusahaan pemilik perkebunan dan pabrik pengolahan, dapat langsung mendistribusikan TBS langsung ke pabrik yang menjadi rekanan mereka.
“Ini sangat menjadi dilema, karena Dinas Perkebunan tidak bisa bertindak apa-apa karena sesuai kewenangan yang diamanatkan regulasi tentang perkebunan kelapa sawit, kami hanya bisa mengurus petani yang memiliki kelembagaan dan bermitra dengan perusahaan perkebunan, ” jelasnya.
Untuk petani diluar kategori itu, ulasnya, maka sistem pemasaran yang terjadi adalah pola perdagangan umum dengan rentang pemasaran dari petani ke pabrik sangat panjang dan rawan terjebak praktik ilegal seperti tengkulak dengan harga sangat murah.
Kondisi tersebut, masih diperparah dengan tingginya harga pupuk kimia dipasaran akibat masih kurangnya ketersediaan stok yang saat ini hanya mampu dipenuhi sebesar 40 perseb dari total kebutuhan yang ada.
Ditanya tentang apa upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi perbedaan harga mencolok itu, Edrizal mengimbau pihak petani non kemitraan agar melakukan penguatan kelembagaan.
“Salah satunya adalah dengan membentuk badan usaha untuk kemudian dilakukan pembinaan secara baik agar kualitas panen mereka dihargai lebih tinggi oleh pihak perusahaan yang menjadi mitranya, ” ajaknya.
Terpisah, Kepala Dinas Koperindag dan UMKM Kabupaten Pasaman Barat, Fahrein Lubis, saat ditanyakan tentang banyaknya pelaku usaha jual beli TBS yang memiliki timbangan sendiri atau peron, hingga saat ini yang melaporkan kegiatan usahanya hanya sekitar 27 unit peron.
“Rata-rata mereka mengurus kalibrasi atau tera ulang timbangan milik mereka yang dijadikan syarat oleh pihak pabrik tempat mereka melemparkan buah minimal sekali satu tahun, ” sebutnya.
Sementara, lanjutnya, pelaku usaha jual beli TBS Kelapa Sawit diluar itu memang tidak diketahui aktifitasnya termasuk berapa harga yang mereka tetapkan untuk perkilo TBS milik petani.
“Kewenangan yang terbatas di daerah cukup menjadi kendala sejauh ini, dan tentu kondisi yang terjadi haruslah menjadi perhatian pihak terkait agar sistem pemasaran TBS milik masyarakat bisa ditata sedemikian rupa dan menguntungkan kaum petani, ” jelasnya.
Ia menyebutkan, upaya melakukan penertiban terhadap pelaku usaha perdagangan TBS tanpa izin juga menjadi perhatian utama pihaknya dan saat ini sedang dilakukan pendataan jumlah pelaku usaha jenis tersebut diseluruh wilayah kecamatan yang ada.
“Nantinya tentu akan diberlakukan pemenuhan regulasi baik berupa izin usaha dan lain sebagainya termasuk bagaimana mencegah buah sawit hasil curian tidak diperjualbelikan secara bebas dengan menerapkan sanksi-sanksi baik berupa pidana pelaku kejahatan penadah barang curian oleh pihak kepolisian, “tutupnya.
Pantauan wartawan, sejumlah peron baik yang berizin resmi atau tanpa izin hingga saat ini terpantau membeli buah ilegal hasil curian dengan harga yang murah.
Dikhawatirkan, praktik tengkulak yang sangat merugikan petani karena harus menjual hasil panen jauh dibawah standar, masyarakat harus dibebani lagi dengan harga pupuk yang mahal dan terpaksa menambah kerugian dengan maraknya aksi pencurian buah sawit oleh oknum tidak bertanggungjawab.
(Rully Firmansyah)